Hujan datang seperti tamu yang tak diundang, tapi selalu ditunggu. Ia mengetuk atap, jendela, dan hati kita dengan irama yang tak pernah bosan mengulang. Ada sesuatu tentang hujan yang membuat kita berhenti. Bukan hanya berhenti berjalan di luar, tapi berhenti dalam arti yang lebih dalam: berhenti melawan waktu, dan nikmatilah setiap detiknya yang ditemani aroma dan suara-suara yang menenangkan.
Ritual Hujan
Apa yang kita lakukan saat hujan turun? Sebagian dari kita menyeduh secangkir kopi atau teh hangat. Sebagian lagi membuka jendela, membiarkan udara dingin menyusup masuk ke dalam rumah. Ada yang duduk di teras, menikmati setiap tetes yang jatuh ke tanah, sementara yang lain hanya menatap keluar, diam, tapi tidak benar-benar kosong.
Hujan membawa ritualnya sendiri, dan setiap orang punya caranya masing-masing. Ada yang menulis, ada yang menikmatinya sambil ditemani secangkir kopi, ada juga yang hanya berbaring di tempat tidur, membiarkan pikiran mereka mengembara ke tempat-tempat yang belum pernah mereka datangi atau ke tempat-tempat yang tak ingin mereka kunjungi lagi. Hujan adalah waktu untuk berdiam, tapi sekaligus sebuah perjalanan — bukan dengan langkah kaki, melainkan dengan pikiran dan perasaan.
Hujan tidak hanya membasahi jalanan dan dedaunan. Ia juga membasahi sudut jiwa dan perasaan dari orang-orang yang melihatnya, yang mungkin sudah lama kering dengan kerinduan. Membawa serta kenangan yang entah darimana munculnya, kenangan yang mungkin sudah kita kubur dalam-dalam, kini menguar bersama udara lembab dan aroma tanah basah. Hujan menghadirkan waktu yang tepat bagi kita untuk ber ritual — berdialog dengan diri sendiri, dengan suara-suara yang terbiaskan saat langit sedang cerah.
Perasaan yang Ikut Basah
Saat hujan turun, dunia terasa melambat. Langit yang gelap memeluk bumi dengan lembut, suara gemericik mengisi ruang-ruang kosong yang biasanya diabaikan. Pernahkah kamu memperhatikan bagaimana aroma tanah yang basah membawa sesuatu yang jauh lebih tua dari ingatan kita sendiri? Menghadirkan sebuah perasaan yang terasa begitu asing bagi kita, tapi kehadirannya selalu menimbulkan rasa rindu, seolah kita telah mengenalnya cukup lama.
Ada yang bilang hujan membuat orang lebih melankolis. Tapi mungkin bukan hujan yang melankolis, melainkan kita yang lebih jujur saat hujan turun. Langit yang menangis memberi kita izin untuk ikut menangis, meski hanya dalam hati. Hujan membuat kita merasakan apa yang biasanya kita hindari: kesepian, kerinduan, atau bahkan rasa kehilangan yang sudah lama kita abaikan.
Tapi hujan juga mampu menghadirkan sedikit kehangatan. Ketika kita duduk bersama orang yang kita sayangi, berbagi selimut, atau sekadar berbagi cerita, hujan menjadi pengikat. Ia menciptakan ruang di mana kita bisa berbicara tanpa terburu-buru, mendengarkan tanpa terganggu. Hujan memaksa kita untuk menikmati jeda, dan dalam jeda itu, kita menemukan kembali hal-hal yang penting.
Refleksi
Mungkin, itulah mengapa kita begitu terhubung dengan hujan. Ia adalah pengingat bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak, untuk merasa, untuk basah oleh emosi yang biasanya kita lindungi dari badai kehidupan. Hujan adalah cermin. Ia memantulkan diri kita yang sebenarnya — tanpa filter, tanpa topeng.
Jadi, ketika hujan berikutnya turun, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan bersembunyi di balik payung, ataukah kamu akan membiarkan diri basah? Karena mungkin, hanya dengan membiarkan diri basah oleh hujan, kita benar-benar belajar apa artinya hidup.
Hujan bukan sekadar cuaca. Ia adalah perasaan, kenangan, dan perjalanan. Dan di tengah hujan, di sela tetesnya, selalu ada cerita. Apa cerita hujanmu?