Kita hidup di dunia yang dipenuhi ekspektasi. Dari lingkungan kerja, keluarga, hingga masyarakat, selalu ada harapan tentang siapa kita seharusnya. Harapan ini seringkali membuat kita merasa harus memakai topeng — berusaha menjadi versi diri yang “ideal” di mata orang lain. Tapi apa jadinya jika kita memilih untuk melepas topeng itu dan menjadi diri kita sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya? Di sinilah tokoh Heiter dari Frieren mengajarkan kita pelajaran berharga tentang keberanian untuk hidup jujur dan otentik.
Heiter adalah seorang priest di party Himmel, sosok yang seharusnya melambangkan kesucian dan keteladanan. Namun, Heiter justru menghadirkan citra yang berbeda: seorang pria yang suka minum, mabuk, dan bersikap santai. Dalam kesederhanaan itulah, ia menunjukkan makna sejati dari kejujuran dan tanggung jawab, meski seringkali berlawanan dengan ekspektasi orang lain.
Heiter: Sosok Priest yang Jujur
Sebagai priest, Heiter memiliki tugas mulia untuk melayani dan melindungi orang-orang di sekitarnya. Namun, di balik tugas suci itu, ia tidak berusaha menyembunyikan sisi manusiawinya. Ia suka minum, mabuk, dan mengatakan hal-hal yang seringkali dianggap tidak pantas untuk seorang priest. Bukannya menjaga citra suci yang sempurna, Heiter memilih untuk hidup apa adanya, tanpa perlu mengkhianati dirinya sendiri. Namun, penting untuk dicatat bahwa kejujuran Heiter bukanlah alasan untuk hidup seenaknya. Ia tetap setia pada tugasnya sebagai priest. Ia hanya menerima kalau ia juga bukan makhluk yang sempurna meski ia adalah seorang priest.
Karena itulah ia memilih untuk menjadi dirinya seutuhnya sambil menjalankan tugasnya sebagai priest. Dalam satu kali kita diperlihatkan bagaimana ia merepotkan partynya ketika berada di dalam dungeon karena ia terlalu mabuk. Dalam adegan yang lain, Heiter menunjukkan sisi penuh penghormatan saat Eisen mengunjungi monumen peringatan warga desa yang dibantai oleh Raja Iblis. Ia berlutut dan berdoa untuk para dwarf yang telah gugur meskipun tidak ada yang meminta. Ia tetap berusaha hadir sebagai seorang teman, pendukung, dan pelayan rohani. Membuktikan bahwa meskipun ia terlihat santai dan seolah tidak peduli, ia tidak pernah melupakan panggilan moralnya. Ia hanya bersikap jujur kepada dirinya sendiri, dan orang lain.
Menolak Bukan Berarti Membenci
Heiter menyadari bahwa manusia tidak pernah sempurna. Ia menerima bahwa manusia adalah gabungan dari sisi baik dan buruk, maka dari itu ia memilih menjalani hidupnya dengan jujur meskipun itu melawan tanggapan umum masyarakat. Meski begitu Heiter tidak serta merta menjadi pribadi yang membenci cara kerja dunia. Ia justru mampu memandang dunia secara utuh, lalu mencoba menikmati segala sisi kebaikan dan keindahannya. Ketika Heiter memasuki usia senja, tanpa sengaja ia menemukan Fern, seorang gadis kecil yang sudah putus asa di tengah hutan. Ia mendekatinya dengan kasih sayang lalu merawatnya. Meski berada di usia senja, Heiter merawat Fern dan mengajarkan padanya bahwa hidup tidak selalu buruk. Ia menunjukkan pada Fern bahwa dunia, meski penuh tantangan, hidup juga memiliki sisi kebaikan dan keindahan.
Dengan kepribadiannya yang tampak bertolak belakang dengan idealisme dunia, Heiter tidak membenci kehidupan. Heiter memandang dunia sama seperti ia memandang dan menerima dirinya sendiri. Ia memandang dunia dengan segala kompleksitasnya, dan menerima setiap sisi gelap sekaligus terang yang dimilikinya. Hal ini tercermin dari bagaimana Fern, yang semula diselimuti keputusasaan, tumbuh menjadi sosok gadis yang tegas, jujur, serta menjunjung nilai moral yang tinggi. Dari sini kita tahu bahwa Heiter memilih menjalani hidupnya dengan segala kejujurannya bukan untuk melawan paradigma dunia. Sebaliknya, Ia menerima segala sisi kehidupannya secara utuh, membantunya agar menjadi versi terbaik dari dirinya, lalu membagikannya kepada orang lain.
Membuka Diri untuk Kehidupan yang Lebih Otentik
Keberanian Heiter untuk hidup jujur dapat menjadi pelajaran penting bagi kita. Ia tidak membiarkan ekspektasi orang lain mengontrol dirinya. Sebaliknya, ia memilih untuk membuka diri dan membiarkan orang-orang melihat siapa dirinya sebenarnya, menilainya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Disini tentu tidak lantas semua orang menerima sikap Heiter. Ada banyak yang menentang dan berkomentar kalau Heiter tidak bersikap sebagaimana layaknya seorang priest. Tapi juga sebaliknya, akan selalu ada orang yang tetap menerima Heiter sebagai pribadi yang menyenangkan dan juga disegani.
Kita tahu bagaimana ‘jujurnya’ Heiter di depan anggota partynya sendiri. Ia tidak segan-segan minum atau bahkan mabuk saat bersama partynya. Bahkan Himmel dan Frieren menjulukinya dengan sebutan ‘pendeta gadungan’. Tapi mereka tetap menerima Heiter apa adanya. Fern menganggap Heiter sebagai sosok yang sangat berjasa dalam hidupnya. Mengetahui umur Heiter tidak lama, Fern berusaha keras untuk menunjukkan pada Heiter bahwa ia mampu untuk menjadi sosok penyihir yang hebat, sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk Heiter. Begitu juga bagi Sein, seorang priest yang sempat menemamin perjalanan Frieren bersama party barunya. Baginya, sosok Heiter adalah seseorang yang baik hati dan dapat diandalkan. Menjadi diri sendiri tentu lantas tidak membuat kita diterima oleh masyarakat pada umumnya. Namun, ketika kita jujur pada diri sendiri dan menjadi versi terbaik kita, akan selalu ada orang yang mengapresiasinya. Bahkan pada akhirnya, alam sendirilah yang akan memilihkan tempat terbaik untuk kita, sama seperti Heiter yang menemukan tempat dalam party-nya.
Penutup: Belajar dari Heiter
Heiter adalah pengingat bahwa kejujuran bukanlah soal menunjukkan hanya sisi terbaik kita, tetapi juga menerima sisi yang tidak sempurna. Daripada hidup di balik topeng ekspektasi, ia memilih untuk membuka diri dan membiarkan dunia melihat siapa dirinya sebenarnya. Ia tidak peduli dengan tanggapan orang lain mengenai dirinya. Dia hanya ingin menjadi versi terbaiknya ia sendiri, jujur apa adanya. Dan darisana, ia menemukan tempatnya di dunia, tanpa harus menanggalkan dirinya sendiri atau menggunakan topeng orang lain. Tidak peduli seberapa tidak sempurna atau tidak konvensional kita terlihat, menerima diri sepenuhnya adalah langkah pertama menuju kehidupan yang utuh dan otentik.
Dengan menerima sisi buruk dan baik yang kita miliki, kita jadi lebih tahu siapa diri kita sendiri. Dan tahu bagaimana cara untuk menghadapi diri sendiri. Dan ketika kita mampu memandang diri kita sendiri sebagai pribadi yang utuh, maka kita juga akan mampu untuk melihat dunia dengan lebih jelas. Darisana kita dapat menentukan cara memandang dunia yang sesuai dengan kepribadian kita, lalu menemukan tempat kita di dalamnya. Jadi, bagaimana jika mulai hari ini, kita mencoba untuk sedikit lebih jujur kepada diri kita sendiri? Mungkin dari situ, kita bisa menemukan versi terbaik dari diri kita — bukan versi yang diharapkan orang lain, tetapi versi yang benar-benar mencerminkan siapa kita.