Kita sering diajarkan untuk memilih antara logika dan perasaan, seolah keduanya berada di dua kutub yang saling bertentangan. Logika digambarkan sebagai suara rasional yang dingin, sementara perasaan dianggap liar, rapuh, dan tak bisa diandalkan. Dalam banyak situasi hidup—terutama yang menuntut keputusan—kita diberi dua pilihan: mengikuti hati atau mengikuti akal. Tapi bagaimana jika sesungguhnya keduanya tidak sedang bertengkar, melainkan justru sedang berbicara dalam bahasa yang berbeda?
Di tengah percakapan batin yang membingungkan itu, muncul sebuah ide yang mungkin terasa lebih jujur: emotional rationality. Sebuah pengakuan bahwa di balik keputusan yang tampak logis, sering kali tersembunyi perasaan yang telah kita proses, kita renungkan, lalu kita olah dengan alat berpikir yang kita miliki.
Bukan Melogikakan, Tapi Menganalisis
Ada perbedaan mendasar antara melogikakan perasaan dan menganalisis perasaan. Yang pertama terdengar seperti upaya mereduksi emosi menjadi angka-angka, seolah kita bisa menjumlahkan cinta, mengurangkan luka, lalu menghasilkan keputusan yang steril dari rasa. Yang kedua, justru menempatkan perasaan sebagai bagian sah dari pengalaman manusia, yang layak diperiksa tanpa harus dibenarkan. Kita tidak sedang mencari alasan untuk merasa. Kita hanya ingin tahu: dari mana semua ini datang?
Dalam praktiknya, proses ini tidak mudah. Bahkan bagi mereka yang tahu pentingnya refleksi, langkah pertama kadang tetap terasa buntu. Bagaimana cara memahami perasaan yang datang tumpang tindih? Dari mana memulainya?
Namun satu hal pasti: ketika kita mulai duduk bersama perasaan, bukan untuk melawan atau menyingkirkannya, tapi untuk mendengarnya perlahan, kita sedang membuka jalan bagi logika untuk bekerja dengan lebih jujur.
Logika sebagai Alat, Bukan Tujuan
Keputusan yang kita ambil setelah menganalisis perasaan bukanlah keputusan impulsif, tapi juga bukan sepenuhnya rasional dalam pengertian sempit. Itu adalah keputusan yang disadari—lahir dari pemahaman tentang kondisi batin, nilai yang kita pegang, dan situasi yang sedang kita hadapi. Logika bekerja di dalamnya, tapi bukan sebagai hakim. Ia menjadi penasihat yang memberi kerangka, memberi peta, memberi jarak yang sehat dari kekacauan batin.
Dan inilah kekuatan sebenarnya dari emotional rationality. Ia bukan tentang memilih antara hati dan kepala, tapi tentang menyadari bahwa keputusan terbaik sering kali lahir ketika keduanya duduk bersama—bukan berseberangan.
Penutup
Pada akhirnya, banyak keputusan “logis” kita bukan hasil dari logika murni, melainkan dari perasaan yang telah kita renungkan dan olah dengan sadar. Emotional rationality mengajak kita berhenti memusuhi emosi dan mulai melihatnya sebagai sumber informasi yang sah. Dengan mengenali apa yang kita rasakan, mengapa kita merasakannya, dan apa yang sebenarnya kita butuhkan, logika bisa bekerja bukan sebagai pengganti perasaan, tapi sebagai penuntun yang jernih.
Mungkin kamu juga sedang berada di titik di mana kepala dan hati bersuara bersamaan. Jika iya, beri ruang untuk mendengar keduanya. Tanyakan pada dirimu: apa yang sebenarnya kamu perjuangkan, dan dari mana rasa itu berasal? Dalam banyak hal, jawaban paling jujur bukan yang paling cepat ditemukan, tapi yang paling bisa kamu pertanggungjawabkan—di hadapan dirimu sendiri.

Karakter sederhana yang menyukai kompleksitas. Punya ketertarikan yang sedikit tidak wajar dengan hal yang berbau kontradiksi. Juga salah satu saksi dibalik lahirnya Ngulik Enak.
Leave a Reply