Mari kita mulai dari satu nama yang hampir semua orang tahu: Mozart. Si jenius musik dari Austria ini sering disebut-sebut sebagai contoh sempurna dari “bakat alami.” Salah satu kemampuan langkanya adalah perfect pitch—kemampuan mengenali nada musik hanya dengan sekali dengar.
Kedengarannya kayak superpower, kan? Denger suara piano: “Oh, itu nada F#.” Denger klakson mobil: “Hm, sepertinya itu nada Bb.” Gila, nggak?
Tapi… tunggu dulu. Apa benar kemampuan kayak gitu cuma bisa dimiliki karena bakat sejak lahir? Atau jangan-jangan… lingkungan punya andil besar?
Apa Itu Perfect Pitch, dan Kenapa Itu Menarik?
Perfect pitch (atau absolute pitch) adalah kemampuan langka. Dari 10.000 orang biasa, cuma sekitar 1 sampai 5 orang yang bisa melakukannya. Di kalangan musisi pun, cuma sekitar 1 sampai 11% yang punya kemampuan ini.
Nah, selama bertahun-tahun orang mengira ini murni bakat alami. Semacam “gift from above.” Tapi ternyata, sains bilang… ngga juga.
Penelitian menemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan bahasa tonal—yaitu bahasa di mana intonasi menentukan arti kata, seperti Mandarin, Thai, atau Yoruba di Afrika—jauh lebih mungkin memiliki perfect pitch, asalkan mereka belajar musik sejak usia dini.
Contohnya: dalam satu studi, 60% penutur bahasa Mandarin yang belajar musik sejak umur 4–5 tahun punya perfect pitch. Bandingkan dengan penutur bahasa Inggris yang cuma 14%.
Artinya? Lingkungan bicara sehari-hari + paparan musik = peluang lebih besar untuk tumbuh jadi mini-Mozart.
Lingkungan Lebih Kuat dari Sekadar Bakat?
Ternyata nggak cuma soal musik. Banyak aspek dalam hidup kita yang awalnya dikira “bakat alami” ternyata bisa dijelaskan lewat lingkungan dan konteks sosial.
Misalnya, penelitian oleh ekonom Raj Chetty menemukan bahwa sebagian besar pemilik hak paten—alias para inovator—berasal dari keluarga kaya.
Kenapa?
Bukan karena anak-anak orang kaya lebih jenius, tapi karena mereka punya akses ke fasilitas, sekolah bagus, mentor berkualitas, dan lingkungan yang mendukung rasa ingin tahu.
Sementara itu, anak dari keluarga kurang mampu harus berjuang di sekolah dengan jumlah murid bejibun, fasilitas minim, dan kadang bahkan nggak bisa ikut les tambahan. Sulit buat bersinar kalau sejak kecil udah kekurangan cahaya.
Faktor Emosional? Jangan Diremehkan.
Nggak cuma faktor ekonomi dan bahasa. Lingkungan emosional juga punya peran besar.
Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua penuh empati, cenderung lebih baik dalam hal sosial dan emosional.
Mereka lebih bisa memahami perasaan orang lain, membangun hubungan sehat, dan mengelola emosi sendiri. Kemampuan ini—yang kadang kita sebut “kepekaan” atau “kecerdasan emosional”—ternyata bisa ditularkan lewat pola asuh. Lagi-lagi, bukan soal bawaan lahir.
Jadi… Apakah Lingkungan Berpengaruh untuk Berkembang?
Jawaban singkatnya: ya, banget.
Dari nada musik sampai empati, dari inovasi sampai kreativitas, semua bisa dibentuk oleh lingkungan. Bakat emang penting, tapi seringkali cuma jadi titik awal. Lingkunganlah yang menentukan sejauh apa kita bisa berkembang.
Karena itu, sebelum menyalahkan anak yang “nggak berbakat,” mungkin kita perlu tanya: apakah dia tumbuh di lingkungan yang bisa menumbuhkan?

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply