Pernah nggak, kita sibuk setting kamera buat cari angle terbaik, nyari pencahayaan yang pas, atur fokus, sampai akhirnya momen yang mau kita abadikan malah keburu hilang? Sementara itu, ada sosok seperti Daido Moriyama yang asal jepret dari pinggangnya, tanpa repot mikirin teknis, dan justru menciptakan foto yang ikonik. Kok bisa?
Moriyama melihat dunia dengan cara yang berbeda. Baginya, fotografi bukan soal menangkap gambar yang sempurna, tapi soal menangkap perasaan dari momen itu sendiri. Hasilnya? Foto-foto hitam putih dengan kontras tinggi, penuh noise, blur, dan kadang terlihat seperti gambar yang gagal. Tapi justru di sanalah letak magisnya—di tengah kekacauan yang tidak terduga, muncul sebuah dunia dengan sudut pandangnya yang baru.
Fotografi Jalanan yang Tidak Romantis
Banyak orang juga menganggap fotografi jalanan harus menangkap keindahan kota, permainan cahaya yang dramatis, atau ekspresi manusia yang penuh makna. Moriyama? Dia lebih tertarik pada sudut gelap kota, papan reklame yang setengah usang, atau pantulan lampu neon di genangan air hujan. Gak ada niat bikin Tokyo terlihat elegan—justru dia menyoroti sisi yang sering diabaikan. Hasilnya adalah Tokyo yang terasa nyata: sedikit kumuh, penuh hiruk-pikuk, tapi juga jujur. Daido Moriyama menunjukkan fotografi tidak melulu soal pengabadian momen romantisme lewat harmonisasi segitiga eksposure.
Gak Fokus? Justru Itu Seninya
Di dunia yang terobsesi dengan kamera resolusi tinggi dan ketajaman gambar yang maksimal, Moriyama malah memilih untuk memeluk blur dan grain. Bukannya nggak bisa bikin foto yang lebih bersih, dia sengaja bikin foto yang terlihat mentah, kasar, dan kabur. Seolah-olah dia ingin bilang, “Hidup itu sendiri nggak selalu jelas, kenapa fotonya harus selalu tajam?”
Tekniknya? Salah satu ciri khas Moriyama adalah menembak dari pinggang (shot from the hip). Ini bukan sekadar teknik asal-asalan, tapi cara untuk menangkap momen tanpa terlalu banyak intervensi. Dengan begitu, ada elemen kejutan dalam setiap hasil jepretannya. Objeknya bisa kepotong, komposisinya nggak biasa, tapi semuanya terasa alami dan spontan.
Tidak Asal Jepret: Elemen yang Diperhatikan Moriyama
Meski begitu bukan berarti Moriyama asal menekan tombol shutter, ya. Meski terlihat spontan, fotonya tetap memiliki kedalaman, tekstur, dan komposisi yang kuat. Ia sering bermain dengan kontras tinggi, pencahayaan dramatis, serta elemen-elemen visual yang membangun narasi dalam satu frame. Dia memahami bagaimana bayangan, refleksi, dan detail kecil bisa menciptakan kesan yang lebih dalam. Tapi di atas segalanya, senjata utama Moriyama tetaplah perasaan yang ia dapatkan setelah menjepret fotonya. Ia lebih mempercayai naluri dibanding aturan teknis yang kaku. Itulah yang menjadikan hasil fotonya seolah memiliki cerita dan rasa di tengah kekacauan dan kesederhanaan yang ia tangkap.
Momen di Atas Segalanya
Buat Moriyama, kamera hanyalah alat. Yang lebih penting adalah insting. Dia nggak terlalu peduli sama aturan klasik fotografi seperti “aturan sepertiga” atau “golden ratio”—dia lebih memilih untuk mengikuti perasaan dan menangkap apa yang menarik bagi dirinya saat itu. Ini yang bikin karya-karyanya terasa hidup dan penuh energi.
Jadi, kalau kita ingin belajar sesuatu dari Moriyama, mungkin bukan sekadar cara mengambil foto, tapi cara melihat dunia. Dunia nggak selalu rapi, kadang buram, kadang penuh noise, tapi justru di situlah keindahannya.
Jadi, siapkah kita melihat dunia dengan cara yang lebih liar dan spontan seperti Moriyama?

Karakter sederhana yang menyukai kompleksitas. Punya ketertarikan yang sedikit tidak wajar dengan hal yang berbau kontradiksi. Juga salah satu saksi dibalik lahirnya Ngulik Enak.
Leave a Reply