Manusia pada hakikatnya akan selalu tertarik dengan api. Entah itu api rokok, api kembang(?), api asmara, api kehidupan, api rumah tangga atau mungkin api pertikaian. Tapi kita tidak akan membahas api-api yang itu. Kita akan membahas api yang lebih sederhana dan hangat. Api unggun. Pernahkah terlintas di pikiran kalian mengapa di setiap acara perkemahan, di gunung, di pantai sering kali ada api unggun di sela-selanya. Bahkan kadang ada juga di belakang rumah sambil bakar-bakar jagung, ubi, atau sosis. Apakah sekedar biar hangat dan untuk memasak? Kalau iya mengapa ada rasa tertarik buat kumpul mengitari api unggun sambil mengobrol bersama dengan atau tanpa makanan? Bener gak sih api unggun itu punya daya tarik yang magnetis? Mungkinkah ada unsur filosofis nan magis yang membuat kita terhipnotis, sambil menghangatkan badan dari udara malam yang atis?
Jejak Nenek Moyang dalam Naungan Api
Jauh sebelum ada listrik dan layar ponsel, api sudah seperti pusat kehidupan manusia. Manusia purba menjadikan api sebagai pusat aktivitas mereka seperti memasak, menghangatkan diri, serta melindungi diri dari bahaya yang menyelimuti dari balik kegelapan, entah serangan hewan buas atau yang lainnya.
Tapi, fungsi api bagi peradaban manusia tidak lantas berhenti disana. Bayangkan kalian sebagai bagian dari masyarakat zaman dulu, lalu di malam hari kalian berkumpul di sekitaran api unggun, sambil menghangatkan diri kalian berbagi cerita dengan tetangga-tetangga kalian di sekitar api unggun. Ya, selain membantu memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, api juga menjadi membantu kegiatan bersosial manusia sejak zaman dulu.
Sebelum ada sosial media, api unggun adalah sumber cerita dan berita yang bisa kita pantengin. Sebelum ada angkringan, api unggun adalah tempat bapak-bapak dan pemuda-pemuda nongkrong, bercerita, bercanda dan bernyanyi. Dan sebelum ada zoom meeting, api unggun juga menjadi media untuk mengadakan rapat antara kepala suku dan warga-warganya. Juga tempat para warga kreatif dan tetua untuk berbicara dan mengajar pada teman, anak, dan cucu mereka. Sejak dulu, api unggun memang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Karena itulah secara genetik, kita punya ketertarikan tersendiri dengan api unggun. Seolah ada perasaan hangat dan nostalgia setiap kali berada di dekatnya.
Estetika, Hipnosis, dan Efek Psikologis
Selain berkumpul, memasak, dan mengobrol di sekitar api unggun, ada satu kegiatan lain yang layak untuk diberikan sedikit perhatian khusus. Melamun. Ya! Adakah di antara kalian yang tanpa sadar kalian menghabiskan waktu kalian hanya sekedar duduk terdiam, melamun, sambil memperhatikan api unggun? Jika ada syukurlah, saya tidak sendirian. Ya, melamun sambil melihat saja itu sudah terasa menghangatkan dan menenangkan. Ruang dan waktu seolah melambat dan berhenti, dan riuh-riuh di kepala seperti perlahan-lahan menghilang. Berganti menjadi suara kayu yang terbakar, ketenangan, dan kedamaian. Meski sesaat, melamun di sekitar api unggun mampu menyajikan ruang transendental, bebas, dan penuh dengan imaji. Mengizinkan kita untuk menyatu dengan alam, terbuka, dan jujur.
Apakah ini semua adalah unsur magis? Well, rupanya ada penelitian yang menunjukkan bahwa menatap api unggun bisa menurunkan tekanan darah dan meningkatkan perasaan relaksasi. Cahaya yang berpendar, gerakan nyala yang tak beraturan tapi tetap harmonis, dan warna-warni jingga-merah-biru menciptakan efek visual yang hampir mirip dengan hipnotis. Otak kita menyukai pola yang tak sepenuhnya acak tapi juga tak terlalu kaku, dan api unggun menyajikan itu semua. Karena itulah kita seolah terpanggil untuk mendekat, duduk melingkar, dan menatapnya. Karena memang ada daya magnetis yang menghisap kita ke dalamnya, lalu memberikan kehangatan dan ketenangan sebagai gantinya. Ah, sungguh sebuah kenyamanan yang selalu layak untuk dirindukan.
Sihir Keabadian dari Api
Bila kita masih bersikukuh mencari unsur magis di balik api unggun, maka sihir paling kuat yang saya yakini dimiliki oleh unggun adalah keabadian. Sudah ribuan, ratusan atau bahkan jutaan tahun lalu manusia hidup berdampingan dengan api. Dan pernahkah kalian sadar, sampai sekarang api masih eksis dan menjaga perannya dengan rapi. Kita masih memakai api untuk memasak, menghangatkan diri, bahkan masih menjadi tempat berkumpul dan bercerita saat camping, memasak ikan di pinggir pantai, atau bercanda sambil barbeque-nan (dibaca: membakar jagung dan sosis) di halaman rumah.
Meski setelah sekian abad atau milenia, api masih setia menemani peradaban manusia dari generasi ke generasi. Dengan setia mengamati pertumbuhan setiap generasi disekitar naungannya. Mulai dari era batu hingga era modern, api masih menjadi saksi dilahirkannya setiap ide-ide dan gagasan baru yang lahir dari sekedar obrolan atau lamunan iseng di depan api unggun. Api juga masih menjadi pendengar setia dibalik setiap cerita dan curahan yang tertumpah di sekitarnya. Api juga masih menjadi penonton yang baik, saat berbagai kesenian dan lagu-lagu baru dipertunjukkan di sekitarnya. Bila ada yang mengatakan api adalah wujud keabadian, maka rasanya tidak perlu saya mencari bukti lain untuk mendukung argumen itu. Karena hingga sekarang, api masih melekat erat dengan kehidupan kita. Menginspirasi manusia-manusia di sekitarnya untuk mengikuti jejaknya yang setia ia lakukan selama berabad-abad. Tenang, menyala, membara, dan abadi.
Penutup
Pada akhirnya setiap sesi pasti memiliki akhir. Obrolan yang hangat, suasana yang tenang, gagasan-gagasan liar dan ide-ide imajinatif, semua akan selesai ketika nyala api unggun berubah menjadi asap kelabu yang ditiupkan oleh kayu. Tapi apakah lantas itu adalah akhir? Tentu tidak. Seperti sihir yang dimiliki api, setiap momen, setiap ide dan setiap obrolan yang lahir dan tercipta di sekitar api unggun, akan terus tercatat, tersimpan, dan abadi dalam ingatan kita. Dan kita akan selalu kembali menemukan kehangatan itu di waktu-waktu yang akan datang. Dan dalam setiap pertemuan berikutnya, kehangatan itu akan terus terasa berbeda. Mengapa? Karena tanpa sadar kalian akan membawa bumbu cerita rindu serta perasaan nostalgia yang berbeda di setiap pertemuannya.
Ingatlah bahwa setiap detik dan waktu yang kita habiskan walau hanya untuk sekedar menatap api unggun, adalah sebuah perjalanan magis. Sebuah pengingat bahwa dalam situasi gelap nan dingin, kita masih mempunyai api yang sudah terbukti senantiasa setia menemani kita hingga melawan waktu. Karena itu, dalam situasi gelap, cobalah kita berdiam diri seraya memejamkan mata sejenak, mencoba menengok lebih dalam. Entah di sudut memori pikiran atau perasaan kita, disana akan selalu ada api yang menunggu untuk kita temukan dan pergunakan. Yang dalam diamnya, menyala, membakar, serta abadi.
Leave a Reply