“Aku tahu, buku inilah yang secara tidak langsung mempertemukan kita.” Katanya dengan membuka-buka halaman Surat-Surat Untuk Dahlia, dia melanjutkan, “tidak pernah sekalipun kamu menceritakan padaku dengan bangga.” Aku hanya memandanginya saat jemari-jemari lentik itu berhenti pada beberapa lembar terakhir.
“Bahkan terdapat soneta di sini. Yang entah, aku merasa kalau kamu dengan sungguh-sungguh menyembunyikan sesuatu.” Aku mengangguk, bangkit dari dudukku di ranjang. Bola matanya masih bergerak-gerak simetris, serius sekali.
“Kamu menyukainya tidak?” tanyaku, dan dia mendengus. Meletakkan buku yang terbuka itu pada telapak tangan kirinya, yang kemudian menjadi sandaran buku. Sampulnya sekarang menghadapku, sejajar dengan tubuh kami yang sudah beradu, kemudian katanya, “kamu ahlinya disini, yang aku tahu adalah tulisanmu cantik, bahasamu manis, yang kecut hanya perangaimu itu ogah-ogahan kalau menyinggung Dahlia.” Aku mendekat, berjingkat untuk mengintip. Surat mana yang sedang dibacanya.
“Kamu menyukainya?” Tanyaku mengulangi. Suaraku lebih pelan dan lambat, karena jarak kami yang teramat dekat. “Kalau kamu takut dipahami, kenapa kamu berani jatuh cinta?” Jawabnya yang malah memuat pertanyaan, kemudian menutup buku, menegakkannya, sampul belakangnya saja yang sekarang menghadapku, kedua telapak tangannya mengapit dengan mantab.
“Bagaimana kalian berpisah?” Dagunya sedikit terangkat, kepalanya bergerak kecil, tapi bola matanya dengan galak kesana kemari mengejar pandanganku. “Dahlia dan aku tidak pernah pernah bersama. Jadi kami juga tidak pernah berpisah.” Dia mengangguk ringan, terlihat cukup puas saat pandangan kami bertemu kembali.
“Respon alami.” Kataku lebih dulu, mulutnya setengah terbuka dan tertutup lagi. Aku melanjutkan, “setidaknya, istilah ini lebih ramah untuk dibayangkan, walaupun… aku sangat yakin, kamu pasti memprotes keras-keras dalam hati.” Dia terkekeh, kombinasi wajah kecil, sepasang gingsul, bola mata bening… sialan, aku hampir lupa mau bicara apa.
“Seperti yang kamu tahu, banyak karya seni hebat berasal dari induk yang sama, penderitaan.” Kepalanya agak menunduk, melebarkan matanya, dan mengangkat alis. “Benar! Benar!” Katanya, kemudian menunduk sepenuhnya memandang dan mengusap sampul depan buku, yang ternyata ibu jari tangan kanannya mengganjal salah satu halaman. Mungkin ada yang ingin ditanyakannya secara khusus. Dia tiba-tiba mendongak, dan kelakuanku tadi seperti mendapat balas, dengan kukatupkan mulut cepat-cepat saat dia mulai bicara, “kamu tidak dengan tiba-tiba datang–tidak terlalu tiba-tiba. Saat menyadari kalau aku jatuh cinta, aku juga baru menyadari setelahnya, kalau kamu datang dengan menunggangi penderitaan. Membuatku teringat lukisan Napoleon.” Butuh beberapa saat untukku memproses kalimatnya. Selain membuatku tampak suram, disaat bersamaan, dia memberi gambaran betapa angkuhnya anjing liar ini, sampai disandingkan dengan beliau. Aku tertawa, kami tertawa.
“Impas!” Lanjutnya, “sekarang bagian yang kamu tahan. Terutama pada bagian yang tidak pernah kamu sampaikan kepada siapapun, bahkan… Dahlia, mungkin?” Dia tersenyum antusias, dan aku hanya mengangguk kecil.
“Lidah menjulur, tinja dan urin keluar dari tubuh saat… seseorang mati tercekik, menggantung.” Dia memiringkan kepala, mengernyit kuat-kuat, kemudian seketika kepalanya tegak kembali, kelopak matanya melebar bulat, “respon alami!”
Aku mengangguk pelan. “Apapun yang peradaban kita sebut dengan alam pikiran, angan-angan, bahkan jiwa, adalah seseorang yang tergantung itu, tercekik oleh hidupnya sendiri.” Aku menghirup nafas panjang. Dia mengerti penjelasanku membutuhkan istirahat sejenak, telapak tangan kirinya sudah dengan lembut mengusap keningku, sembari tersenyum hangat. Satu tarikan dan hembusan singkat, aku melanjutkan “Setelahnya, seperti yang kamu ketahui. Respon alami, akibat ketidakberdayaan.”
Aku meraih tangan kanan yang ibu jarinya masih menahan salah satu halaman. “Ini adalah bukti ketidakberdayaanku. Aku hanya…” menggeleng ragu, tapi antusiasmenya jauh lebih kuat dari keraguanku sendiri, yang justru mendorongnya berdiri lebih dekat, matanya berbinar-binar. Aku terkekeh, “sembari menunggu tubuhku dikubur, jiwaku yang sekarat… seperti katamu, kesana kemari, dan kamu malah sudah duduk asik didepanku. Padahal, kamu tahu apa yang sedang kita tunggangi bersama.” Mulutnya membulat, wajahnya terangkat perlahan, dengan mata yang terbuka lebar-lebar. Mirip orang sedang terkagum melihat salah satu keajaiban dunia, yang baru saja muncul dari dasar laut.
Leave a Reply