Mengulik dan menikmati proses, sampai tenggelam dan lupa bahwa nada yang kupetik lama kelamaan bergeser menjadi serangkaian minor. Harga telur naik setara tiga liter Pertalite, tetangga bergunjing soal hari ini, dan deru motor di jalanan. Kebisingan itu, entah bagaimana, seperti cerminan dari kekacauan yang menghuni diriku sendiri. Simfoni sumbang ini terus berputar, membawa perpaduan mimpi dan kenyataan yang perlahan menghimpit. Isi kepalaku sudah terbiasa dengan keriuhan—yang kubuat-buat sendiri, padahal.
Keriuhan di luar ini, anehnya, seperti saling berbalas dengan kekacauan di dalam diriku. Sama seperti telur yang melambung harganya, aku sering merasa hidup ini menawarkan nilai yang terus berubah tanpa peringatan. Kadang terasa mahal, kadang nyaris tidak ada harganya sama sekali. Namun, di balik kebisingan ini, ada sebuah simfoni sumbang yang terus mengalun—perpaduan antara mimpi yang belum tercapai dan kenyataan yang perlahan menghimpit. Aku mencoba mencari celah dalam kebisingan ini. Menatanya, sedikit demi sedikit.
Jika kemarin aku menulis entropi, dan sahabatku menulis perpaduannya bersama harmony, ah—kamarku benar-benar layak jadi percontohan. Semula tertata rapi, setidaknya pada tempatnya semula, yang pada akhirnya akan tidak karuan berceceran kalau memang sedang digunakan. Ya… niat hati dan kegiatan sehari-hari adalah menata kembali, kemudian membuatnya kacau kembali. Begitu seterusnya sampai ada benda baru, benda yang tidak digunakan dialih fungsikan di tempat lain, dan lain sebagainya.
Terbiasa dengan kebisingan, dan kekacauan kecil sehari-hari, sampai pada akhirnya aku harus dan kecanduan menyempatkan diri untuk sekedar duduk dan melamun. Mana yang sekiranya paling menarik minatku hari itu—dan ini. Asal kalian tahu, tulisan yang terbaca di sini adalah hasil penelusuran kami, dan aku secara pribadi entah terlanjur kecanduan atau keranjingan saja dengan menulis. Sesekali terasa jarum menusuk-nusuk, aku kira rematik, ternyata memang ada satu dua kilas balik gara-gara melamun ditengah bawah sadar yang sedang melaras.
Kebiasaan, keinginan, bahkan benda-benda di sekitarku, semuanya memiliki pola yang sama: chaos sebelum clarity. Anehnya, aku selalu kembali pada kekacauan ini, seolah ada daya tarik misterius yang membuatku nyaman untuk terus bersentuhan dengannya. Seperti sebuah kebiasaan yang sulit dihilangkan, kekacauan itu hadir di mana-mana, baik di kamarku, pikiranku, atau mungkin—hidupku.
Aku merasa sangat beruntung, atau mungkin terselamatkan. Sebelum Ngulik Enak ada di dunia kami, sekitar satu dekade lalu sejak tulisan ini terbit, kursi mini market (Indomaret, Alfamart) apapun yang buka 24 jam, menjadi awal telaah tidak berkesudahan ini. Kemudian, setelah aku sadar bahwa lamunanku kembali ke masa sekarang, yang kudapati lebih menggembirakan lagi.
Bawah sadar yang menyimpan ‘kegetiran’ dan terus menerus ditekan oleh norma dan adab, perlahan-lahan terbebas dan “oh, mereka butuh ditempatkan sesuai habitatnya.” Klise saka, kok. Mengorganisir. Tidak kasat mata, kapan saja bisa menjadi pelatuk supaya ada niat minum racun. Tidak, kami lebih suka membiarkan entah kegetiran apapun itu keluar, umpatan? Teriakan? Bersenandung tidak karuan? Alkohol, yah—sesekali. Petikan nada minor 7 menjadi andalan. Setidaknya, ketidakwarasan yang hanya sirna kala lelap, ternyata bisa ditempatkan pada ruang dan waktu yang sama tidak kasat matanya. Emosi semenjijikkan apapun, perlu menempati ruang dan waktu, ah—ekspresi. Lagi-lagi klise, tapi aku rasa tidak semua orang beruntung untuk mendapatkan “wadah” seperti yang aku coba ceritakan, bukan? Oh, buktinya? Masih ada kan yang walaupun sudah stres berat, bahkan depresi, masih saja mengatakan “aku pasti bisa! Aku tidak boleh gagal!” Ya, itu sangat keren, saudara-saudariku sekalian… Padahal, disadari atau tidak, beliau-beliau yang mengatakan sedemikian ini, seringkali memiliki paranoid yang—aku tidak bisa bayangkan, kekhawatiran, kesedihan, kekecewaan, bahkan kegetiran yang—karena norma dan adab harus dikubur hidup-hidup.
Lalu, kenapa aku menulis? Pertanyaan ini sering muncul, baik dari orang lain maupun diriku sendiri. Menulis adalah cara termudah sekaligus paling menyakitkan untuk melihat isi kepalaku. Kadang aku tertawa karena absurditas pikiranku sendiri, kadang aku menangis diam-diam karena terlalu banyak luka yang kubuka ulang tanpa sadar. Tapi menulis adalah cara terbaik untuk memberi nama pada apa yang selama ini tidak pernah aku pahami. Dengan memberi nama, aku bisa mengontrolnya—atau setidaknya mencoba.
Mengorganisir, kan? Urusanku juga banyak yang tertunda, kekesalanku pada sesama manusia juga banyak yang menjadi ganjalan, dan lain-lain. Beruntungnya, karena mengulik adalah caraku untuk menikmati bagaimana cara menjinakkan emosi-emosi tersebut, syukurlah, pada akhirnya aku masih memiliki ‘sedikit’ empati, dengan menulis di sini, misalnya.
Jangan salah paham! Aku dan sahabatku setuju untuk menjadikan blog ini sebagai sarana kami untuk “memuntahkan” apapun! Ya, apapun! Bukti kalau aku memiliki keegoisan untuk berekspresi. Mengkritik, menyanggah, menanyakan 5W1H(autopilot) di antara kami, sudah biasa! Kegiatan yang merupakan bentuk apresiasi, karena kami ingin berekspresi dari titik tolak emosi kami sebagai manusia.
Contoh sederhana, berdasarkan pengalaman pribadi adalah “apa jangan-jangan, aku sudah candu dengan kesedihan?” Nampak melankolis? Bahkan basi? Berkat apresiasi seperti yang dituliskan di atas, aku secara pribadi malah menjadi medium dari imaji-imaji yang terilhami dari duka lara manusia. Tentu saja, setiap orang orang memiliki porsi kebahagiaan dan penderitaannya. Karenanya, aku tidak akan membandingkan-bandingkan(karena itu memuakkan).
Pada akhirnya, segala rupa emosi yang saat ini samar-samar mulai aku kenali, dan bahkan memberi mereka nama dan kuusahakan supaya mereka menempati keabadian. Bermula karena aku sebagai manusia dengan kesadaran penuh, menempati ruang dan waktu, lalu kenapa emosiku tidak kuperlakukan sedemikian rupa?
Tidak masalah jika awal mulanya berserakan, berceceran, bertebaran, dan kacau balau…
Satu persatu diidentifikasi, dikenali, dikategorikan, dibersihkan, ditata, kalau kalau belum bisa dibuang, disimpan sampai benar-benar puas.
Enteng sekali bicaranya! Ya… ya… Memang aku tidak ada sedikitpun menasehati siapapun, aku sekedar menulis ini untuk diriku sendiri. Memang seegois itu diriku! Toh aku menulis ini juga sebagai bentuk deklarasi “kewarasan” diri sendiri, ditengah perekonomian yang masih melarat, dan jiwa yang setengahnya sekarat, aku masih memiliki entah satu atau dua nalar yang—bisa menuntun jari-jari kiriku memilih nada minor berikutnya.
Mungkin, pada akhirnya, rekayasa tatanan ini adalah satu-satunya bentuk ketertiban yang bisa aku ciptakan di tengah dunia yang tak pernah bisa kupahami sepenuhnya. Meski aku tahu, tulisan ini pun bisa dianggap sebagai upaya pembenaran belaka, seperti kebohongan lainnya. Tapi apa lagi yang bisa kita lakukan selain terus menipu diri sendiri agar bisa bertahan? Karena, seperti yang pernah kubaca:
“Sebaik-baiknya niat yang bahkan absolut selaras dengan tindakanmu yang mulia, kamu tetap memiliki potensi untuk menjadi iblis di pikiran dan perasaan orang lain.”
Mungkin, kita semua, di tengah kebisingan dan kekacauan masing-masing, hanya mencari sejumput tatanan—rekayasa kecil yang membuat hidup terasa sedikit lebih bermakna.