Di Antara Pemikir dan Penonton

makna yang absurd di antara hidup dan mati

Mort tiba di aula diskusi dengan langkah pelan, mengenakan jaket hitam lengkap dengan kaos dan celana jeans yang juga serba hitam. Matanya menyapu ruangan yang dipenuhi manusia dari berbagai latar belakang—dosen, mahasiswa, orang-orang yang terlalu serius memikirkan hidup, dan beberapa yang hanya datang demi kopi gratis.

Dan di sana, duduk di barisan belakang, wanita yang duduk diam menyimak dengan aura yang sangat mencolok. Mengenakan sweater merah cerah dan syal hijau mencolok, Vita tampak menikmati diskusi ini lebih dari seharusnya.

Mort mendesah dan berjalan mendekat. “Serius?” katanya sambil menarik kursi di samping Vita. “Dari semua tempat yang bisa kau pilih, kau memilih ini?”

Vita menoleh dengan senyum lebar. “Kenapa tidak? Aku pikir ini akan menghibur.”

Mort hanya bisa menghela nafas. “Aku lebih suka kau membawaku ke cafe yang aneh-aneh daripada diskusi terbuka yang tidak penting seperti ini.”

Pembicara di depan, seorang filsuf muda dengan janggut tipis yang belum sepenuhnya tumbuh, mulai menjelaskan.

“Begitulah konsep nihilisme. Bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya makna bawaan yang absolut. Itu semua hanyalah buatan manusia dalam pandangan nihilisme. Lantas, jika setiap makna yang kita percaya adalah sebuah ilusi yang kita ciptakan sendiri, apa itu makna? Apa itu hidup? Kita akan mencoba membedah bersama-sama disini. ”

Vita menahan tawa. “Lihat? Menarik bukan? Manusia selalu dikelilingi dan dimanjakan oleh keindahan dan kekacauan, mereka hanya tinggal menjalaninya. Tapi mereka memilih duduk di ruangan pengap ini untuk mempertanyakan apakah semua itu berarti dan nyata.”

Mort mengamati wajah-wajah serius di ruangan itu. Sebagian tampak tenggelam dalam pemikiran mendalam, sementara yang lain terlihat lelah dengan kehidupan namun tetap mencari jawaban.

Mort menyandarkan punggungnya di kursi. “Hmm… harus ku akui ini sedikit menghibur.”

“Mereka merasa hidup seperti sebuah ketidakpastian yang sangat menakutkan.” gumam Mort. “Karena itulah mereka bekerja keras mencari sebuah makna untuk dipercaya. Agar mereka terbebas dari ketidakpastian. Padahal… justru pencarian makna itu sendiri yang menjebak mereka.”

Vita tersenyum mengangguk. “Benarkan? Mereka tidak sadar kalau justru ketidakpastian lah yang membebaskan mereka dari ilusi. Mereka sendiri yang menciptakan ketakutan itu. Menjebak diri mereka sendiri ke dalam pencarian makna yang entah kapan berakhirnya. Lalu mereka berdebat tanpa henti sambil menciptakan lebih banyak buku filsafat.”

Mort mendesah. “Dan pada akhirnya aku yang harus berurusan dengan mereka ketika mereka terlalu lelah untuk mencari jawaban.”

Vita terkekeh. “Ah, kau selalu dapat bagian sulitnya, ya?”

Seorang peserta diskusi mengangkat tangan. “Tapi pak, jika kita dari awal memang makna atau tujuan sejak kita dilahirkan, lalu untuk apa kita hidup? Untuk apa ada kehidupan dan kematian dari awal? Dan lagi, setelah mendengar itu semua, apa kita masih bisa mengatakan kalau kita itu benar-benar ‘hidup’? Sementara semua hal yang kita kerjakan itu hanyalah ilusi semata.”

Sambil si pembicara mencoba menjawab pertanyaan peserta tadi, Mort menoleh ke arah wanita di sebelahnya. Vita sedang menatap lurus ke depan, ke arah pembicara yang tengah sibuk menjelaskan memang betapa absurdnya keberadaan ini sambil membawa pandangan-pandangan filsuf ternama soal itu. Kali ini, hanya senyum kecil terlihat di sudut bibirnya.

“Kau tidak biasanya diam seperti ini.” Mort bergumam pelan.

“Aku hanya menyimak.” Vita hanya menjawab dengan singkat dan tenang.

Tak lama, tiba-tiba seorang wanita muda mengangkat tangannya, mencoba menyampaikan pemikirannya.

“Maaf tapi saya tidak mengerti dengan penjelasan panjang bapak dan juga pertanyaan di sepanjang diskusi ini tadi. Karena menurut saya kalau benar begitu, maka bukankah harusnya kita berterima kasih dengan Nihilisme? Karena berkatnya, sejak lahir kita sudah dibebaskan dari jeratan makna dan tujuan. Itu berarti kita bebas menjalankan hidup sesuai yang kita mau kan? Lalu mengapa kita harus mempersoalkan apakah itu nyata atau ilusi? Toh, kita ada disini sekarang. Peduli amat soal makna kehidupan atau kematian.”

Vita menghela nafas pelan, jari-jari tangannya bertemu di depan wajahnya sambil tersenyum. “Sudah kuduga tempat ini menarik. Tidak salah aku memilih tempat ini.”

Mort menatapnya diam. Senyum yang dipancarkan Vita kali ini bukan seperti senyum ceria atau senyum ejekan yang biasanya dilemparkan kepadanya. Senyumnya kali ini, terasa seperti sebuah bentuk… kelegaan. Aneh pikirnya. Apa yang baru saja kelegaan itu berikan sampai membuat sosok Kehidupan itu sendiri tersenyum seperti itu?

“Kau tidak mau menanyakannya kepadaku? Soal hal aneh yang baru saja terjadi padaku. Ini bahkan kesempatanmu buat mengejek diriku loh?” Vita menatap balik Mort yang sedari tadi memperhatikannya.

Mort tidak langsung menjawab. Baru kali ini ia merasakan tatapan Vita terasa begitu dalam dan hangat. Ia hanya menoleh kembali ke arah forum diskusi sambil menjawab pelan. “Ada dua hal yang sangat ahli aku lakukan. Memutuskan dan menerima. Kali ini aku rasa akan lebih baik kalau aku melakukan yang kedua.”

Vita menatap Mort penuh heran.

Ia telah mengenal Mort dengan sangat sangat lama. Dia memang selalu begitu. Diam. Tidak peduli. Acuh tak acuh dengan yang ada disekitarnya. Tapi dia tidak menyangka sosok Kematian itu sendiri ternyata memiliki kepribadian yang juga menenangkan. Tidak, dia tentu sudah tahu. Tapi ia merasa baru kali ini dia merasakan sendiri ketenangan itu.

Merasa tidak biasa dengan situasi itu, ia menatap gelas kopinya yang kosong. Ia lantas mengambil gelas kopi Mort dan menyesap isinya untuk menghilangkan dahaganya, hanya untuk menyemburkannya kembali sambil terbatuk-batuk.

“Kopimu terlalu pahit! Mengapa kau tidak pernah menambahkan gula sedikit pun di minumanmu!”

Mort berkedip, lalu tertawa kecil. “Kau serius baru menyadarinya? Lagipula siapa yang menyuruhmu minum kopiku?”

Diskusi pun terhenti sejenak akibat kehebohan absurd yang diciptakan oleh dua entitas ini. Tapi akhirnya mereka pun melanjutkan diskusi mereka mengenai makna dan ilusi keberadaan mereka di dunia ini, sambil disimak langsung oleh Kehidupan dan Kematian itu sendiri.

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “Di Antara Pemikir dan Penonton”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *