Cinta selalu jadi topik yang nggak ada habisnya—menginspirasi seni, sastra, dan filsafat dari zaman ke zaman. Tapi kalau dipikir-pikir, cinta itu nggak cuma sekadar perasaan menggebu-gebu atau cerita manis di layar kaca. Bagaimana kalau kita mencoba melihat cinta dari sisi yang berbeda? Bagaimana bila cinta bukan soal menemukan akhir yang sempurna, tapi tentang bagian dari perjalanan?
Mitos tentang “Belahan Jiwa”
Sejak kecil, kita sering dicekokin ide kalau cinta adalah tentang menemukan seseorang yang “melengkapi” kita. Dari film, lagu, sampai novel, semuanya bikin kita percaya kalau tanpa pasangan, kita nggak utuh. Padahal, pola pikir ini bisa jadi jebakan. Kalau cinta dipandang sebagai solusi atas kekosongan dalam diri, hubungan bisa jadi lebih mirip ketergantungan daripada pertumbuhan. Kita jadi menggantungkan kebahagiaan ke orang lain, padahal seharusnya kebahagiaan itu datang dari diri sendiri dulu.
Lebih sehat kalau kita melihat cinta sebagai tambahan, bukan penyelamat. Fondasi hubungan yang kuat bukan dari mencari seseorang untuk mengisi kekosongan, tapi dari dua individu yang sudah berdiri tegak dan memilih berjalan bersama. Dengan begitu, cinta bukan jadi beban, tapi justru ruang untuk berkembang.
Cinta sebagai Cermin dan Pemantik Perubahan
Meski kita berusaha jadi pribadi yang utuh, cinta tetap bisa jadi cermin yang memperlihatkan sisi-sisi diri yang selama ini nggak kita sadari. Terkadang, seseorang datang dalam hidup kita bukan untuk “melengkapi,” tapi untuk menantang kita jadi versi yang lebih baik.
Kalau dipikir-pikir, cinta yang sehat itu bukan tentang kehilangan diri dalam pasangan atau menjadi super mandiri sampai nggak butuh siapa-siapa. Cinta adalah proses di mana kita bertumbuh bersama. Pasangan yang tepat bukan yang menyempurnakan kita, tapi yang membantu kita melihat potensi yang sebelumnya mungkin tersembunyi. Yang penting bukan “aku butuh kamu supaya bahagia,” tapi “aku bahagia, dan aku ingin berbagi kebahagiaan ini denganmu.”
Percikan yang Sulit Dijelaskan
Sejauh apa pun kita membahas cinta dari sudut pandang logika dan psikologi, tetap ada satu bagian yang nggak bisa dijelaskan sepenuhnya—chemistry, percikan, atau intuisi yang tiba-tiba muncul. Kadang, kita jatuh cinta bukan karena daftar kriteria atau perhitungan yang masuk akal, tapi karena ada sesuatu yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Momen-momen kecil, waktu yang tepat, atau bahkan hal-hal sepele bisa membentuk ikatan yang nggak terduga. Kita nggak selalu tahu kenapa tertarik pada seseorang, kenapa ada hubungan yang bertahan lama dan ada yang memudar begitu saja. Tapi mungkin, yang lebih penting bukan sekadar menemukan cinta, melainkan bagaimana kita belajar dari setiap hubungan yang kita jalani.
Cinta Sebagai Bagian dari Perjalanan, Bukan Tujuan Akhir
Pada akhirnya, cinta bukan soal mencapai titik akhir yang sempurna, tapi tentang perjalanan yang kita lalui—sendiri maupun bersama orang lain. Ada orang yang hanya singgah sebentar tapi meninggalkan jejak yang dalam, ada juga yang tetap tinggal dan menemani dalam berbagai perubahan hidup.
Cinta bukan piala yang harus dimenangkan atau pencapaian yang harus dikejar. Ia adalah proses yang terus berjalan—tentang menerima ketidaksempurnaan, saling menantang, dan membangun sesuatu yang berarti. Bukan karena kita butuh untuk bertahan hidup, tapi karena cinta menambah warna dan makna dalam perjalanan kita.
Pada akhirnya, cinta bukan soal menjadi lengkap. Ia adalah tentang pengalaman, pertumbuhan, dan cerita yang kita ciptakan di sepanjang jalan.

Karakter sederhana yang menyukai kompleksitas. Punya ketertarikan yang sedikit tidak wajar dengan hal yang berbau kontradiksi. Juga salah satu saksi dibalik lahirnya Ngulik Enak.
Leave a Reply