Siapa yang belum pernah mendengar nama Peter Carey? Kalau Anda termasuk yang suka sejarah dan pernah mendengar kisah Pangeran Diponegoro, besar kemungkinan Anda pernah mendengar karyanya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785–1855.
Buku ini tidak hanya megah dari segi konten, tetapi juga cara penyajiannya. Berkat dukungan logistik dari Kompas Group dan Yayasan Arsari milik Hashim Djoyohadikusumo, serta penerjemahan apik oleh Parakitri T. Simbolon, karya ini jadi terasa hidup, mengalir, dan mudah dimengerti. Peluncuran buku ini pun, baik pada 2012 maupun 2014, digelar dengan meriah—lengkap dengan sorotan media. Beda jauh dengan edisi pertamanya dalam Bahasa Inggris yang terbit pada 2007 oleh KITLV dan lebih “senyap.”
Kesuksesan Peter Carey ini membangkitkan satu pertanyaan besar: “Kalau sejarawan Indonesia mendapatkan dukungan yang sama, apakah mereka bisa menghasilkan karya yang setara?”
Sejarawan Indonesia: Ada, Kok!
Sebenarnya, Indonesia punya banyak sejarawan berbakat. Sebut saja nama-nama seperti:
- Sartono Kartodirdjo, sang maestro sejarah pemberontakan petani di Banten.
- Onghokham, dengan gaya narasi sejarah yang penuh humor.
- Taufik Abdullah, JJ Rizal, Anhar Gonggong, dan masih banyak lagi.
Sayangnya, karya-karya mereka sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup besar, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Kenapa? Ada beberapa alasan.
- “Topik yang Tidak Seksi”
Salah satu tantangan utama adalah topik yang diangkat. Bandingkan saja: topik Perang Diponegoro terasa jauh lebih menarik dibanding pemberontakan petani di Banten, yang meskipun penting, mungkin dianggap “kurang menjual.”
Atau lihat kasus Hermawan Sulistyo yang menulis tentang pembantaian massal anggota PKI. Ini topik yang sangat sensitif, bahkan di dalam negeri. Jadi, meskipun penting, banyak yang memilih untuk menghindari membicarakannya secara terbuka. - Kurangnya Dana dan Dukungan
Dana riset di Indonesia adalah masalah klasik. Di luar negeri, para sejarawan sering mendapatkan dukungan finansial yang cukup untuk melakukan penelitian mendalam, mengakses arsip langka, atau bahkan menulis buku yang rapi. Sementara itu, di Indonesia? Sejarawan harus berjuang dengan dana terbatas, bahkan sering kali harus menyulap peran sebagai pengajar, penulis, dan administrator dalam waktu yang sama.
Seperti yang pernah ditulis oleh Anthony Reid dalam kolomnya di Tempo (2011), hampir 90 persen karya tentang Indonesia di jurnal internasional ditulis oleh orang yang tidak tinggal di Indonesia. Ironis, bukan? Kita seperti kehilangan suara dalam menceritakan sejarah kita sendiri. - Karir yang Sibuk
Banyak lulusan doktor dari luar negeri yang sebenarnya punya potensi besar. Tapi begitu kembali ke Indonesia, mereka tenggelam dalam kesibukan administrasi demi mengejar jabatan atau karir akademis. Akhirnya, riset yang seharusnya dilanjutkan justru terbengkalai.
Ini sangat disayangkan, terutama ketika dunia internasional sedang kehilangan legenda-legenda Indonesianis seperti Benedict Anderson atau Clifford Geertz.
Kenapa Kita Harus Peduli?
Sejarah bukan cuma tentang masa lalu; ia adalah cermin yang membantu kita memahami siapa kita hari ini. Kalau kita tidak bisa menulis sejarah kita sendiri, apa yang tersisa? Seperti yang dikatakan Anthony Reid, Indonesia menjadi salah satu negara paling tidak efektif dalam menjelaskan dirinya kepada dunia.
Padahal, Indonesia punya cerita yang kaya, dari perjuangan kemerdekaan hingga keberagaman budayanya. Jadi, dukungan terhadap sejarawan lokal bukan hanya soal “mendukung akademisi,” tetapi juga soal menjaga identitas bangsa.
Belajar dari Peter Carey
Peter Carey adalah contoh bagaimana dukungan yang tepat bisa membuat sebuah karya sejarah menjadi masterpiece. Tapi ini bukan berarti kita harus selalu bergantung pada Indonesianis dari luar negeri. Indonesia punya banyak talenta lokal yang, dengan dukungan yang memadai, bisa menghasilkan karya yang setara.
Jadi, bagaimana kalau kita mulai lebih peduli? Mendukung penelitian, membeli buku-buku sejarah lokal, atau sekadar memberikan ruang lebih besar untuk diskusi sejarah. Karena, kalau bukan kita yang menceritakan sejarah Indonesia, siapa lagi?
Leave a Reply