‘Main Character Syndrome’: Ketika Kita Menjadi Karakter Utam

main character syndrome

Pernah nggak sih, jalan sendirian sambil dengerin lagu terus ngebayangin seolah-olah lagi ada di film? Atau mungkin ngerasa kalau hidup ini adalah cerita yang berpusat pada diri sendiri, lengkap dengan narasi internal ditambah soundtrack yang terasa pas di tiap momen? Kalau iya, selamat! Mungkin kalian juga pernah (atau masih) mengalami yang namanya Main Character Syndrome. Dan tenang! Kalian, nggak sendirian.

Apa Itu Main Character Syndrome?

Istilah ini sebenarnya nggak ada dalam kamus psikologi resmi, tapi belakangan sering dipakai untuk mendeskripsikan fenomena di mana seseorang melihat dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu—tokoh utama dalam cerita hidupnya sendiri. Bukannya salah, sih. Secara teknis, well, memang kita semua adalah tokoh utama dalam hidup masing-masing. Tapi yang menarik, beberapa orang membawanya ke level yang lebih tinggi, sampai-sampai mulai merasa dunia di sekitar mereka seperti panggung yang mendukung perjalanan karakter mereka.

Fenomena ini bukan sekadar tentang merasa penting atau istimewa, tapi lebih ke bagaimana seseorang memproses hidupnya seperti alur cerita di film atau novel. Kadang dramatisasinya muncul secara alami, kadang-kadang juga… malah disengaja.

Kenapa Kita Bisa Mengalami Ini?

Ada beberapa alasan kenapa banyak orang—terutama di era media sosial—sering terjebak dalam pola pikir ala karakter utama:

1. Pengaruh Media dan Narasi Pop Culture

Sejak kecil, kita dijejali dengan cerita-cerita yang berpusat pada satu tokoh utama. Dari dongeng klasik sampai film Hollywood, tanpa sadar kita memang diajarkan untuk melihat dunia dari sudut pandang satu karakter yang menjalani petualangan, menghadapi konflik, lalu berkembang. Lama-lama, otak kita terbiasa untuk memproses hidup dengan pola yang sama. Jadi tidak heran kalau kadang kita merasa kita lah karakter utama dalam hidup kita. Sayangnya tidak ada narasi atau soundtrack yang menemani.

2. Algoritma Media Sosial yang Mendukung

Instagram, TikTok, Twitter—semuanya dirancang untuk membuat kita merasa seperti protagonis. Kita bisa bebas memilih momen terbaik buat diupload, memilih filter yang pas, dan membagikan highlight kehidupan seolah sedang membangun plot cerita sendiri. Bahkan tren seperti “A Day in My Life” atau video aesthetic morning routine seolah memperkuat ilusi bahwa kita adalah tokoh utama yang menjalani cerita dalam film yang entah apa genrenya.

3. Mekanisme Koping dari Kehidupan yang Monoton

Jujur aja, hidup nggak selalu seru. Kadang rutinitas terasa membosankan, kerjaan numpuk, atau masalah datang bertubi-tubi. Di titik ini, menganggap diri sebagai tokoh utama bisa jadi cara untuk membuat segalanya terasa lebih bermakna. Seolah-olah semua tantangan yang datang adalah bagian dari character development menuju versi diri yang lebih kuat. Bayangin aja ketika kalian berhasil menyelesaikan deadline kalian tiba-tiba ada narasi “level up” atau “silahkan pilih self reward kalian” muncul di kepala kalian. Ahh… betapa menyenangkannya hidup.

4. Kebutuhan Akan Kontrol dan Makna

Sering kali, orang ingin percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan—sebuah takdir atau rencana besar. Dengan melihat diri sebagai tokoh utama, hidup jadi terasa lebih terarah. Ada tujuan, ada konflik yang harus diselesaikan, dan tentunya ada momen kemenangan yang bisa diraih. Dengan begitu, hidup akan terasa lebih bermakna. Karena kitalah yang menulis cerita hidup kita. Ini hal yang sangat baik tentunya. Hanya saja, ini semua sekejap bisa langsung berubah bila kita terlalu menambahkan elemen dramatisasi dalam hidup kita, sekedar hanya agar kita merasa cerita hidup kita menarik. Ini bisa membawa kita ke dalam ilusi kontrol yang keliru.

Apakah Ini Buruk?

Sebenarnya, Main Character Syndrome bukan sesuatu yang selalu negatif. Dalam kadar tertentu, ini bisa membantu kita lebih percaya diri, lebih menikmati hidup, dan bahkan jadi lebih berani mengambil keputusan. Tapi kalau berlebihan, ini bisa membuat seseorang kehilangan empati terhadap orang lain, merasa dunia berputar di sekitar mereka, atau bahkan sulit menerima kenyataan bahwa nggak semua hal harus punya alur cerita dramatis.

Misalnya, kalau terlalu terobsesi menjadi tokoh utama, bisa jadi kita malah mengabaikan peran orang lain dalam hidup kita. Padahal realitanya belum tentu seperti itu. Bisa saja dalam cerita orang lain, kita bukan protagonis, tapi justru karakter pendukung yang berperan penting dalam perkembangan mereka. Dan hidup hanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada niatan untuk mendramatisir segala aspek kehidupan kita. Pada dasarnya kita semua hanyalah karakter tokoh dalam cerita besar yang kebetulan memiliki cerita masing-masing. Dan bisa jadi cerita hidup kita adalah bagian dari cerita hidup orang lain. Entah itu sebagian kecil atau bahkan sebagian besar.

Kesimpulan: Hidup Bukan Satu Cerita, Tapi Banyak Cerita

Pada akhirnya, nggak ada yang salah dengan melihat diri sendiri sebagai tokoh utama. Tapi ada baiknya juga diingat bahwa dunia ini nggak cuma berpusat pada satu orang. Hidup lebih mirip seperti kumpulan cerita yang saling berjalin, di mana kita kadang jadi protagonis, kadang jadi figuran, dan kadang bahkan hanya jadi narator bagi orang lain.

Jadi, kalau lagi ngerasa hidup seperti film, nikmati aja! Kapan lagi kamu bisa merasa memegang kendali penuh soal hidupmu? Tapi jangan lupa, di luar sana, ada banyak cerita lain yang juga menarik dan layak untuk diperhatikan. Jadi mari kita buat cerita hidup kita sebaik dan semenarik mungkin.

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “‘Main Character Syndrome’: Ketika Kita Menjadi Karakter Utam”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *