Stratokrasi-Meritokratik: Ide Gila atau Solusi?

Stratokrasi-Meritokratik: Ide Gila atau Solusi?

Bayangkan sebuah dunia di mana seorang ahli ekonomi yang sudah makan asam garam malah dikalahkan dalam pemilu oleh seorang selebritas yang, maaf, mungkin cuma pandai berfoto selfie. Kedengarannya konyol, bukan? Tapi itulah realita demokrasi modern—sebuah sistem di mana suara seorang ahli dihitung sama dengan suara seorang yang hanya peduli soal siapa artis TikTok favoritnya.

Maka muncullah ide ini: Stratokrasi-Meritokratik. Sebuah sistem di mana hak politik seseorang ditentukan oleh kompetensinya. Bukannya semua orang bebas memilih atau dipilih, hanya mereka yang terbukti ahli dan berkapabilitas yang boleh mengambil keputusan penting. Kedengarannya tegas? Mungkin. Tapi siapa bilang keadilan selalu berarti kesetaraan? Yuk, kita bahas lebih dalam.

Apa Itu Stratokrasi-Meritokratik?

Sesuai namanya, Stratokrasi-Meritokratik adalah perpaduan antara stratokrasi (sistem berbasis strata/tingkatan) dan meritokrasi (sistem berbasis merit atau kemampuan). Dalam sistem ini:

  • Strata masyarakat ditentukan berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan kontribusi seseorang terhadap komunitas.
  • Hak dan kewajiban meningkat seiring dengan strata seseorang. Semakin tinggi strata, semakin besar tanggung jawabnya.

Intinya sederhana: hanya mereka yang ahli di bidangnya yang boleh ambil bagian dalam politik. Seorang dokter bicara soal kesehatan, seorang ekonom bicara soal kebijakan fiskal, dan seorang jenderal bicara soal keamanan negara. Bukan malah semua orang ikut-ikutan memberi suara di bidang yang mungkin mereka sendiri nggak paham.

Kenapa Sistem Ini Terkesan “Tidak Adil”?

Pertanyaan yang sering muncul adalah, “Lho, kok suara rakyat biasa dianggap nggak penting? Kan ini nggak adil!” Tapi mari kita renungkan sejenak. Apakah adil jika suara seorang profesor teknologi nuklir dihitung sama dengan suara seseorang yang lebih paham tentang… eh, teori konspirasi di grup WhatsApp?

Ketidakadilan sering disalahpahami. Stratokrasi-Meritokratik bukan soal mendiskriminasi, tapi soal menghormati keahlian. Ibaratnya, kamu nggak bakal menyuruh tukang kayu bikin roket, kan? Kompetensi harus jadi prioritas, bukan popularitas.

Cara Menentukan Kompetensi

Oke, di sinilah bagian pentingnya: gimana cara kita memastikan seseorang benar-benar kompeten? Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diterapkan:

  • Ujian Kompetensi dan Sertifikasi
    Mirip dengan tes masuk perguruan tinggi atau ujian profesi, setiap calon pemimpin harus lulus serangkaian tes yang dirancang untuk mengukur pengetahuan, keahlian, dan kemampuannya dalam bidang tertentu. Misalnya, seorang kandidat di bidang ekonomi harus mampu menjelaskan efek inflasi terhadap kebijakan moneter tanpa kebanyakan googling. Kalau nggak bisa, ya, maaf, jangan coba-coba naik strata.
  • Pengalaman Praktis
    Kompetensi bukan cuma soal teori, tapi juga praktik. Misalnya, seorang calon pemimpin militer harus punya pengalaman nyata di lapangan, bukan cuma teori strategi perang dari buku. Jadi, kalau kamu hanya ahli berdebat di media sosial tanpa pengalaman nyata, sebaiknya duduk manis dulu di strata bawah.
  • Evaluasi Berkala
    Tidak ada yang abadi, termasuk posisi di strata. Setiap individu harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan mereka masih layak berada di posisinya. Ini juga memberi kesempatan bagi yang di strata bawah untuk naik jika mereka menunjukkan perkembangan.
  • Panel Ahli Independen
    Penentuan strata harus dilakukan oleh panel ahli yang bebas dari tekanan politik. Jangan sampai proses ini disusupi oleh orang-orang yang sekadar mencari kepentingan pribadi.

Kelebihan Stratokrasi-Meritokratik

  1. Keputusan yang Lebih Berkualitas
    Dengan melibatkan hanya orang-orang kompeten, kebijakan yang dihasilkan akan lebih rasional dan berdasarkan data, bukan emosi.
  2. Penghormatan terhadap Keahlian
    Sistem ini memotivasi masyarakat untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan mereka.
  3. Minim Populisme
    Tidak ada lagi pemimpin yang dipilih hanya karena mereka populer. Semua orang harus membuktikan kapasitasnya sebelum diberi kekuasaan.

Tantangan dan Realita

Namun, seperti semua sistem, Stratokrasi-Meritokratik juga punya tantangan. Pertama, bagaimana mencegah korupsi dalam proses penilaian kompetensi? Kedua, bagaimana memastikan sistem ini tidak menjadi alat untuk menindas strata bawah?

Dan yang paling penting: bagaimana menerapkan sistem ini di masyarakat yang sudah terbiasa dengan demokrasi? “Sekali orang merasakan kebebasan, walaupun itu buruk, mereka tidak akan mau kembali dikekang.”

Impian atau Realita?

Stratokrasi-Meritokratik mungkin terdengar seperti mimpi utopis. Tapi di balik ide ini, ada pesan penting: kita harus mulai menghargai kompetensi di atas popularitas. Demokrasi bukan sistem yang sempurna, tapi Stratokrasi-Meritokratik menawarkan refleksi tentang apa yang bisa kita perbaiki.

Jadi, bagaimana menurut Anda? Apakah sistem ini layak dicoba, atau justru hanya akan tetap menjadi lamunan di pagi hari? Yang jelas, apa pun sistemnya, mari kita mulai dengan menghormati keahlian orang lain—karena suara ahli selalu lebih bernilai daripada sekadar keramaian di media sosial.

Penulis

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “Stratokrasi-Meritokratik: Ide Gila atau Solusi?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *