Ocean Waves: Nostalgia, Cinta, dan Keabsurdannya

the ordinary of ocean waves

Beberapa film tidak perlu menjadi megah atau penuh kejutan untuk meninggalkan kesan mendalam. Kadang, justru yang sederhana dan down to earth yang lebih lama tinggal di kepala. Inilah yang saya rasakan setelah menonton Ocean Waves.

Karena cukup hype di kalangan skena perfilman anime, saya memutuskan untuk menontonnya. Dan seperti biasa, produksi Ghibli selalu tidak pernah mengecewakan secara visual. Dari segi cerita, film ini masih sesuai dengan pace khas Ghibli: lambat, santai, cukup duduk dan menikmati. Tapi karena Ocean Waves bergenre slice of life—yang juga genre favorit saya—ritmenya kali ini terasa sedikit berbeda. Film kali ini diluar dugaan terasa sangat… biasa. Ya! Tidak ada elemen fantasi yang biasanya menambah daya tarik film Ghibli, hanya kisah remaja yang sedang jatuh cinta tapi tidak paham soal perasaannya sendiri. Ditambah bumbu-bumbu konflik remaja sma yang ya bisa relatif biasa dan realistis. Tapi siapa sangka, dibalik kata biasa dan realistisnya inilah yang menjadi senjata utamanya yang membuat saya mengerti mengapa banyak orang suka dengan film ini.

Visual & Gaya Penyampaian

Sebagai studio yang terkenal dengan kualitas animasinya, Ghibli tetap menjaga standar dalam film ini. Detail kota, pencahayaan, bahkan ekspresi karakter dibuat dengan sangat baik. Namun, dibandingkan film-film Ghibli lain, Ocean Waves terasa lebih sederhana, lebih down to earth. Tidak ada keajaiban, tidak ada dunia lain—hanya kehidupan sehari-hari yang terasa akrab.

Pace film ini juga khas Ghibli: lambat, tapi bukan tanpa tujuan. Kita tidak disuguhkan konflik yang meledak-ledak, melainkan momen-momen kecil yang menggambarkan kehidupan remaja dengan segala kebingungan dan kecerobohannya. Kadang terasa membosankan, tapi disitulah letak magisnya. Film biasa dengan alur biasa tanpa ada konflik istimewa ini, berhasil menahan saya duduk menikmati sampai tidak terasa film sudah selesai. Saya pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sepanjang film saya hanya merasa sedang mendengarkan cerita dari seorang teman soal percintaannya di masa lalu—hanya saja dengan grafis yang wah. Tidak ada yang istimewa selama menonton. Tapi entah mengapa, ada perasaan hangat ketika saya bangkit dari tempat duduk sambil mencerna pelan-pelan apa maksud dari film tadi.

Konflik & Karakterisasi

Kalau ada satu kata yang bisa menggambarkan Ocean Waves, mungkin itu adalah realistis—atau malah terlalu realistis. Tidak ada drama besar atau konflik bombastis, hanya keseharian remaja yang sedang mencari jati diri, dengan segala ketidaktahuannya soal perasaan sendiri.

Taku Morisaki, karakter utama kita, bukan tipe protagonis yang menonjol. Dia baik, cenderung pasif, dan sering kali hanya mengikuti arus. Sampai akhirnya datanglah Rikako Muto—siswi pindahan dari Tokyo yang penuh misteri, berkepribadian kuat, tapi juga egois dan suka bertindak seenaknya. Dari awal, kita tahu mereka bukan tipe pasangan yang serasi. Tapi justru di situlah letak daya tariknya.

Dinamika antara Taku dan Rikako ini menarik karena terasa sangat genuine. Rikako adalah sosok yang menyebalkan, sulit dipahami, dan sering kali membuat keputusan impulsif. Tapi justru karena itu, dia terasa nyata. Kita semua pasti pernah bertemu seseorang seperti Rikako—atau bahkan, pernah menjadi Rikako dalam suatu fase hidup.

Konflik dalam film ini pun sebenarnya sederhana:

  1. Rikako yang kesulitan beradaptasi di lingkungan barunya dan masih terikat dengan kehidupannya di Tokyo.
  2. Persahabatan Taku dan Yutaka yang mulai diuji karena keterlibatan perasaan.
  3. Perasaan Taku sendiri yang tidak jelas—apakah dia benar-benar benci Rikako, atau ada sesuatu di balik itu?

Semuanya berkembang dengan ritme yang santai, tanpa klimaks yang meledak-ledak. Tapi justru karena itu, konflik dalam Ocean Waves terasa lebih dekat dengan kehidupan nyata. Kita tidak selalu mendapat momen dramatis seperti dalam film romantis mainstream. Kadang, yang kita alami hanyalah kebingungan, miskomunikasi, dan perasaan yang baru kita sadari ketika semuanya sudah terlambat. 

Refleksi: Cinta yang Tidak Sempurna

There’s no such thing as a perfect love story.” Ya, itulah pelajaran yang saya terima setelah menonton film ini. Tidak ada cerita cinta yang sempurna seperti di film-film atau anime-anime. Sama seperti hidup, terkadang cerita cinta memang bisa seabsurd itu. Sederhana, tidak beraturan, terkadang klise, dan bisa jadi jauh dari ekspektasi kita terhadap apa itu cinta. Dan film ini, berhasil mengingatkan saya pada hal itu.

Cinta ya cinta. Ia tumbuh secara tiba-tiba dan sesederhana itu. Meski banyak penjelasan rumit secara ilmiah soal apa itu cinta, pada praktiknya, percintaan memang sesederhana itu. Ada rasa keterkaitan yang mutual satu sama lain. Tinggal masing-masing mau atau tidak mengembangkannya. Dan sejauh mana mereka mampu menjaga dan mengembangkannya.

Hanya saja, seiring berjalannya waktu dan semakin banyak pengalaman yang kita jalani, entah sejak kapan konsep cinta yang sederhana ini terasa begitu jauh. Tapi tidak apa-apa. Sesekali diingatkan kembali dengan perasaan nostalgia ternyata cukup menghangatkan dan meringankan sedikit beban di bahu.

Kesimpulan & Penutup

Pada akhirnya, Ocean Waves bukanlah film Ghibli terbaik. Tapi, film ini tetap punya pesonanya sendiri. Ia mengajak kita melihat cinta bukan sebagai sesuatu yang dramatis dan penuh kejutan, melainkan sebagai sesuatu yang sederhana dan, ya… absurd.

Kadang, cerita cinta yang paling membekas justru bukan yang penuh klimaks, melainkan yang terasa paling nyata. Dan mungkin, itu yang membuat Ocean Waves tetap relevan hingga sekarang. Sebuah pengingat bahwa cinta tidak selalu seperti di film-film. Kadang, ia hanya hadir begitu saja. Dan sesederhana itu.

Tagar terkait :


Popular Posts

5 responses to “Ocean Waves: Nostalgia, Cinta, dan Keabsurdannya”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *