Sebelum kita meratap panjang soal dunia yang makin absurd ini, mari kita pastikan dulu apakah premis pertanyaannya benar:
- Dulu standar kepintaran adalah matematika?
Hmm… iya, kalau “dulu” yang dimaksud itu era ketika sekolah lebih menghargai anak yang bisa nyelesaiin persamaan kuadrat daripada yang bisa ngomong manis di depan kelas. Tapi kalau kita mundur lebih jauh, ke zaman para filsuf Yunani atau para raja di kerajaan mana pun, kepintaran itu lebih sering diukur dari retorika—seberapa pintar ngomong, bukan seberapa cepat ngitung akar pangkat tiga di kepala. - Sekarang standar kepintaran adalah pintar ngomong meskipun salah?
Well… kalau kita lihat media sosial, talk show politik, atau seminar motivasi abal-abal, kayaknya iya, ya? Orang bisa ngomong panjang lebar, kedengarannya pintar, padahal kalau dikuliti isinya cuma angin. Jadi, oke, mari kita terima premis ini buat sementara.
Sekarang pertanyaannya: Kok bisa gitu?
Dunia Ini Punya Masalah Prioritas
Dulu, orang yang bisa ngitung cepat, ngerti sains, atau jago strategi perang lebih dihargai karena… ya, dunia butuh itu. Kalau salah hitung, jembatan bisa roboh. Kalau salah strategi, kerajaan bisa tumbang. Makanya, orang-orang yang ngerti angka dan logika dipuja-puji.
Tapi sekarang? Dunia udah masuk era informasi, di mana yang paling penting bukan siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling bisa meyakinkan orang kalau dia tahu. Kenapa? Karena…
- Kebanyakan orang nggak punya waktu buat ngecek fakta.
Kita lebih suka percaya daripada mikir. Contoh: Kalau ada orang bilang, “Minum jus wortel bisa bikin kamu kebal dari radiasi nuklir,” kita lebih mungkin percaya kalau dia ngomongnya dengan suara berwibawa dan pakai jas dokter (meskipun dia cuma dokter hewan). - Kita lebih peduli sama rasa daripada isi.
Ini sebabnya banyak orang lebih suka influencer yang ngomongnya smooth dan enak didenger, ketimbang profesor yang sebenarnya ngerti tapi ngomongnya kaku. People don’t care about the truth, they care about the vibe. - Ekonomi kita sekarang lebih butuh persuasi daripada perhitungan.
Sales, politik, konten kreator—semuanya bergantung pada kemampuan ngomong, bukan kemampuan ngitung. Jadi, siapa yang bisa jualan ide paling baik, dia yang menang.
Apakah Dunia Ini Rusak?
Nggak sepenuhnya. Pintar ngomong itu bukan dosa. Masalahnya adalah kalau kepintaran ngomong itu dipakai buat ngawur atau manipulasi.
Kalau semua orang cuma percaya sama yang kedengarannya benar, kita bakal berakhir di dunia di mana orang paling sukses adalah yang paling jago ngegas, bukan yang paling jago mikir.
Tapi ada secercah harapan:
✔ Masih ada orang yang peduli sama kebenaran—meskipun sering kalah suara.
✔ Orang makin sadar soal propaganda dan omong kosong. Lihat aja, sekarang banyak yang mulai belajar berpikir kritis dan fact-checking.
✔ Sains tetap berjalan meskipun dunia dipenuhi kebisingan. Pada akhirnya, kalau pesawat bisa terbang dan jembatan nggak roboh, itu karena ada orang-orang yang masih lebih percaya angka daripada omong kosong.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
🟢 Jangan gampang percaya sama omongan manis. Uji. Tanya. Korek.
🟢 Jangan cuma dengerin yang nyaman di telinga. Dengerin yang benar, meskipun nyakitin ego.
🟢 Jangan jadi bagian dari masalah. Kalau ngomong, pikir dulu. Jangan asal ngegas cuma karena bisa.
Pada akhirnya, pintar ngomong bukanlah musuh, tapi kalau kita nggak hati-hati, dunia bakal lebih banyak dipimpin oleh mereka yang terdengar benar, bukan mereka yang benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan.
Dan kita? Kita harus pastikan diri kita bukan bagian dari mereka.

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply