Kalau kamu sempat aktif mengikuti perkembangan musik Indonesia di awal 2010-an, mungkin kamu pernah dengar anggapan kayak gini: “Wah ini musiknya indie banget, akustikan, mellow, syahdu.” Entah dari mana mulainya, tapi semacam ada kesepakatan tidak tertulis bahwa musik indie itu identik dengan suara gitar akustik, vokal lembut, dan lirik puitis tentang patah hati. Padahal, kenyataannya nggak sesempit itu.
Istilah “indie” sendiri bukan genre musik. Indie adalah singkatan dari “independent”—yang secara harfiah berarti merdeka atau mandiri. Dalam konteks musik, ini merujuk pada cara produksi dan distribusi karya yang dilakukan di luar label besar alias major label. Jadi, bisa aja sebuah band metal, hip-hop, atau elektronik disebut indie kalau mereka mengelola semuanya sendiri atau lewat label kecil. Tapi kenapa citra musik indie di Indonesia jadi begitu sempit? Mari kita ulik lebih dalam, soal salah kaprah di musik indie.
Awal Mula Salah Kaprah
Salah satu penyebabnya mungkin karena banyak musisi indie yang awalnya dikenal publik justru datang dari ranah folk atau akustik. Nama-nama seperti Payung Teduh, Banda Neira, dan Danilla Riyadi memang mencuat lewat musik yang cenderung mellow dan akustik. Karena popularitas mereka, orang jadi mengira seluruh musik indie ya seperti itu. Padahal ini cuma sebagian kecil dari lanskap musik independen yang jauh lebih luas.
Media juga punya peran. Dalam banyak liputan atau acara TV dan radio, musik indie sering dipresentasikan dalam format yang “aman” buat telinga awam—biasanya yang bernuansa lembut, romantis, atau akustik. Efeknya, ekspektasi publik terhadap musik indie pun jadi terbentuk dari sana.
Indie Bukan Genre, Tapi Ekosistem
Yang perlu diluruskan: indie itu bukan soal gaya musik, tapi soal cara kerja. Musisi indie biasanya bertanggung jawab atas seluruh proses kreatif—dari menulis lagu, merekam, produksi, sampai promosi. Mereka membangun komunitas, bikin gigs kecil-kecilan, bahkan jualan merchandise sendiri. Inilah kenapa indie lebih tepat disebut sebagai ekosistem daripada genre.
Dalam ekosistem ini, kamu bisa nemuin berbagai jenis musik—dari punk, shoegaze, synthpop, hingga black metal. Band-band seperti Efek Rumah Kaca, Stars and Rabbit, Elephant Kind, hingga The Panturas, semuanya bisa dibilang indie, meskipun jenis musik mereka beda jauh. Jadi, membatasi musik indie hanya pada folk atau akustik justru mengkerdilkan semangat merdeka yang jadi inti dari gerakan ini.
Indie, Dulu dan Sekarang
Sekarang, kesadaran soal keragaman musik indie udah mulai tumbuh. Platform digital seperti Soundcloud, Bandcamp, dan YouTube bikin musisi independen dari berbagai genre bisa lebih mudah menunjukkan karya mereka ke publik. Generasi baru penikmat musik pun mulai mengenal bahwa musik indie nggak selalu mellow dan patah hati.
Tapi tetap aja, persepsi lama belum sepenuhnya hilang. Masih ada yang menganggap indie itu semacam genre tertentu yang cocok buat senja, kopi, dan patah hati. Bukan berarti musik seperti itu nggak bagus, tapi akan lebih sehat kalau kita bisa melihat indie sebagai rumah besar bagi segala macam ekspresi musik, bukan cuma satu warna saja.
Penutup
Mungkin sekarang saatnya kita hentikan fenomena salah kaprah soal musik indie. Bukan cuma sebagai gaya, tapi sebagai gerakan. Sebagai simbol bahwa musik bisa hidup tanpa harus tunduk pada industri besar. Sebagai tempat eksplorasi tanpa batas.
Jadi, lain kali kalau ada yang bilang musik indie itu pasti akustik, sendu dan senja, kamu bisa jawab: “Nggak juga, coba dengerin Scaller, Teenage Death Star, atau Tashoora deh.” Siapa tahu, mereka jadi ikut tercerahkan. Dan akhirnya, kita semua bisa menikmati musik indie dalam warna aslinya—beragam, liar, dan merdeka.

Karakter sederhana yang menyukai kompleksitas. Punya ketertarikan yang sedikit tidak wajar dengan hal yang berbau kontradiksi. Juga salah satu saksi dibalik lahirnya Ngulik Enak.
Leave a Reply