Ada satu momen yang nggak bisa dilupakan banyak orang di internet—ketika lagu Plastic Love dari Mariya Takeuchi tiba-tiba jadi viral. Bukan karena challenge TikTok atau remix EDM, tapi karena orang-orang dari seluruh dunia jatuh cinta sama suara retro yang hangat, nuansa malam kota Tokyo, dan vibe santai yang nostalgic. Lagu itu bukan baru, bahkan udah ada sejak 1984. Tapi kenapa bisa boom lagi di era digital? Jawabannya ada di daya magis dari Japanese City Pop.
Japanese City Pop bukan cuma genre, tapi gambaran sebuah era. Era ketika Jepang lagi naik-naiknya secara ekonomi, ketika Tokyo mulai dipenuhi lampu-lampu neon, mobil-mobil keren, dan mimpi-mimpi masa depan yang penuh gaya. Musiknya pun jadi semacam soundtrack dari kehidupan kosmopolitan di tahun ’80-an—dengan sentuhan funk, jazz, soul, dan pop barat yang dibalut nuansa Jepang yang elegan. Beda dari musik pop biasa, Japanese City Pop punya atmosfer. Dan atmosfer itu… bikin kita serasa nyetir mobil sport malam-malam di jalanan kosong sambil ngebayangin hidup ideal.
City Pop: Soundtrack dari Jepang yang Lagi Optimis
City Pop lahir di era ketika Jepang lagi mengalami bubble economy—masa di mana pertumbuhan ekonomi mereka melonjak drastis, dan gaya hidup masyarakat kota mulai berubah. Musik pun jadi cerminan dari kehidupan yang lebih modern, hedonis, dan stylish. Kalau lo dengerin lagu-lagu City Pop kayak Ride on Time dari Tatsuro Yamashita atau Stay With Me dari Miki Matsubara, lo bakal ngerasa kayak lagi di tengah kota Tokyo, malam hari, naik mobil mewah sambil lihat lampu-lampu neon—padahal kita cuma lagi duduk di kamar, dengerin YouTube.
Yang bikin beda dari pop biasa adalah suasana yang dibangun. City Pop itu bukan sekadar musik buat didengar, tapi juga vibe buat dirasain. Lagu-lagunya seringkali punya nada yang ringan dan catchy, tapi kalau diperhatiin liriknya, ada sisi mellow, kadang bittersweet. Kontras inilah yang bikin City Pop punya lapisan makna yang lebih dalam—kayak hidup modern itu enak tapi kadang juga kosong. Dan justru di situlah banyak orang dari berbagai generasi merasa relate.
Perpaduan Timur dan Barat yang Nggak Garing
Salah satu hal paling unik dari Japanese City Pop adalah bagaimana mereka bisa nge-blend musik barat—kayak jazz, funk, R&B, sampai soft rock—ke dalam racikan khas Jepang. Tapi yang keren, mereka nggak sekadar meniru. Artis-artis City Pop punya cara sendiri buat menyisipkan nuansa Jepang di dalam musik barat, mulai dari progresi akor, struktur lagu, sampai cara mereka bernyanyi yang lebih lembut dan ekspresif. Hasilnya? Musik yang familiar tapi tetap terasa segar dan eksotik di telinga pendengar internasional.
Karena pendekatan ini, City Pop jadi kayak jembatan budaya. Lo bisa suka karena nuansa groovy-nya yang barat, tapi juga jatuh cinta karena ada keanggunan khas Jepang yang nggak bisa diduplikat. Makanya gak heran, banyak musisi barat zaman sekarang mulai nge-remix, nge-sample, bahkan bikin musik baru yang terinspirasi langsung dari City Pop. Bisa dibilang, genre ini bukan cuma bertahan karena nostalgia, tapi juga karena secara musikal emang kuat dan nyambung ke generasi sekarang.
Nostalgia Tanpa Batas: Kenapa City Pop Naik Lagi di Era Internet
Fenomena viralnya City Pop di era internet jadi bukti bahwa musik bagus gak kenal umur, bahasa, atau lokasi. Banyak lagu City Pop yang re-born di YouTube, TikTok, atau Spotify lewat algoritma yang entah gimana bisa nemuin lagu tahun 80an dan ngenalin ke Gen Z. Tapi ternyata, bukan cuma algoritma yang bikin genre ini naik lagi—melainkan karena orang-orang zaman sekarang lagi haus akan perasaan nostalgia, bahkan buat masa yang nggak pernah mereka alami sekalipun.
City Pop ngasih rasa “nostalgia imajiner”—sebuah kerinduan terhadap dunia yang kelihatan lebih simpel, lebih romantis, dan lebih estetik. Dan musiknya memang cocok banget buat itu. Makanya, meskipun kita gak lahir di Jepang tahun 80an, banyak yang ngerasa “nyambung” sama atmosfer musiknya. Nggak heran, City Pop akhirnya jadi semacam pelarian yang adem dari dunia sekarang yang serba cepat, bising, dan penuh distraksi.
Visual, Estetika, dan Imajinasi yang Bikin Ketagihan
City Pop nggak bisa lepas dari visual. Mulai dari cover album bergaya retro-futuristic, ilustrasi cewek-cewek bergaya Shōwa Era, sampai video klip yang penuh warna neon dan sunset jingga—semuanya memperkuat pengalaman dengerin lagu-lagunya. Bahkan banyak fans City Pop yang ketagihan bukan cuma karena musiknya, tapi juga karena visual vibes-nya yang sinematik. Rasanya kayak nonton potongan film yang gak pernah kita tonton, tapi somehow terasa familiar.
Estetika ini juga yang bikin genre ini bertahan dan terus di-repackage ulang oleh komunitas kreatif di seluruh dunia. Banyak lo-fi visual, animasi fan-made, dan art style modern yang terinspirasi langsung dari era City Pop. Lewat kombinasi suara dan visual inilah, City Pop jadi lebih dari sekadar genre musik—tapi semacam pengalaman emosional dan imajinatif yang bikin nagih.
Penutup: City Pop, Musik yang Gak Pernah Benar-Benar Pergi
City Pop itu unik karena dia bukan cuma soal nada dan lirik—tapi soal perasaan. Perasaan hangat yang muncul saat lo dengerin lagu jadul tapi gak terasa ketinggalan zaman. Perasaan kayak lagi naik mobil malam-malam, lampu kota nyala, dan lo gak mikirin apa-apa selain nikmatin momen. Musik ini berhasil nyebrang zaman dan budaya, bukan karena sekadar viral, tapi karena ada jiwa di dalamnya—dan jiwa itu masih bisa nyentuh hati orang, bahkan puluhan tahun setelah lagunya pertama kali diputar.
Mungkin itu kenapa sampai hari ini, orang masih terus nemuin City Pop, jatuh cinta, dan muter ulang lagu yang sama berkali-kali. Karena City Pop bukan cuma nostalgia, tapi juga pelarian yang indah di tengah dunia yang makin ribut. Dan selama masih ada orang yang pengen denger musik yang enak, jujur, dan penuh warna—City Pop bakal terus hidup, gak peduli tahun berapa sekarang.

Karakter sederhana yang menyukai kompleksitas. Punya ketertarikan yang sedikit tidak wajar dengan hal yang berbau kontradiksi. Juga salah satu saksi dibalik lahirnya Ngulik Enak.
Leave a Reply