Lisa adalah seorang mahasiswi di Semarang yang dalam waktu dekat akan menghadapi ujian tengah semester. Tapi Lisa bukan tipe mahasiswi yang rajin belajar. Waktu luangnya lebih banyak dihabiskan untuk scroll media sosial atau binge-watching serial favoritnya.
Tentu saja, Lisa masih belajar—tapi hanya sebentar, dan itu pun sering diselingi dengan lamunan. Salah satu hayalan favoritnya? Mendapat nilai A tanpa harus bersusah payah.
Namun, ketika hasil ujian keluar, realita berkata lain. Nilainya jauh di bawah harapan. Kita mungkin berpikir, “Ya wajar, kan dia malas belajar?” Tapi ada faktor lain yang berkontribusi di sini: Lisa terlalu banyak menghayal hasil sempurna tanpa benar-benar mempersiapkan diri.
Menghayal Bisa Membuat Kita Malas Berusaha
Ada sebuah penelitian menarik dari Lien Pham dan Shelley Taylor yang membuktikan efek negatif dari terlalu banyak menghayal.
Dalam studi mereka, mahasiswa dibagi dalam dua kelompok:
- Kelompok pertama belajar secara normal tanpa berkhayal tentang hasil akhirnya.
- Kelompok kedua menghabiskan waktu berkhayal mendapatkan nilai tinggi sebelum belajar.
Hasilnya?
Kelompok yang sering berkhayal tentang nilai tinggi justru belajar lebih sedikit dan mendapat nilai lebih rendah.
Kenapa bisa begitu?
Karena menghayal tentang kesuksesan bisa menciptakan kebahagiaan semu. Otak kita sudah merasa puas seolah-olah impian itu sudah tercapai, padahal belum melakukan apa-apa.
Studi Lain: Menghayal dalam Program Diet
Ada studi lain yang lebih ekstrem, dilakukan oleh Gabriele Oettingen dan Thomas Wadden dari Universitas Pennsylvania, tentang bagaimana berkhayal bisa mempengaruhi program diet.
Mereka meneliti sekelompok wanita yang sedang berusaha menurunkan berat badan. Setiap peserta diminta membayangkan bagaimana mereka akan menghadapi godaan makanan.
Ada dua jenis khayalan yang muncul:
- Khayalan positif: “Saya akan menolak makanan yang tidak sehat.”
- Khayalan negatif: “Saya akan makan saja, mumpung ada.”
Setahun kemudian, para peneliti menghubungi kembali peserta penelitian untuk melihat hasilnya.
Hasilnya? Wanita yang memiliki khayalan positif kehilangan lebih banyak berat badan dibanding mereka yang hanya pasrah pada godaan.
Ini menunjukkan bahwa berkhayal itu bukan masalah, selama kita berkhayal dengan realistis—mempersiapkan tantangan, bukan cuma memimpikan hasil sempurna.
Bagaimana Ini Terjadi dalam Dunia Karir?
Efek yang sama juga ditemukan dalam dunia kerja.
Penelitian lain menunjukkan bahwa mahasiswa yang sering berkhayal tentang pekerjaan impian dengan gaji besar justru:
- Mengirim lebih sedikit lamaran kerja.
- Lebih kecil kemungkinan mendapatkan pekerjaan yang mereka impikan.
Kenapa bisa begitu?
Karena mereka sudah merasa puas hanya dengan membayangkan kesuksesan. Akibatnya, mereka tidak termotivasi untuk bekerja lebih keras dalam mencapainya.
Jadi, Apakah Berkhayal Itu Buruk?
Jawabannya: Tergantung.
Jika kita berkhayal dengan realistis—mempertimbangkan rintangan dan solusi, itu bisa jadi alat yang kuat untuk memotivasi diri.
Tapi kalau kita cuma berkhayal tentang hasil akhir yang sempurna tanpa memikirkan proses dan tantangan, maka itu justru bisa membuat kita terjebak dalam kepuasan semu dan malas berusaha.
Jadi, lain kali saat kamu mulai berkhayal sukses, coba tanyakan ke diri sendiri:
“Apakah aku sudah memikirkan langkah-langkahnya, atau hanya sibuk bermimpi?”

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply