Argumen Tidak Terbantahkan

Belajar dari Sejarah

Sejarah, dalam esensinya, adalah cermin kehidupan. Ia memuat narasi panjang tentang perjalanan manusia: kebodohan, kebijaksanaan, keberanian, dan ketakutan yang saling bersisian. Ia adalah catatan terperinci tentang bagaimana homo sapiens—kita semua—berusaha menemukan makna hidup, bertahan, dan berkembang. Namun, ironisnya, seperti kata Hegel, “Sejarah mengajarkan kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah.”

Pernyataan ini, meski terdengar sederhana, memiliki kebenaran yang menusuk. Betapa sering kita melihat peristiwa-peristiwa masa lalu yang seharusnya menjadi pelajaran, justru terulang kembali. Egoisme, konflik kepentingan, dan narasi golongan identitas terus mendikte jalannya kehidupan manusia, bahkan hingga hari ini.

Sejarah dan Siklus yang Tak Terputus

Sebagai manusia modern, kita bisa mengakses catatan sejarah dengan mudah. Buku, dokumentasi, hingga kajian akademis tersedia dalam jumlah yang melimpah. Sayangnya, alih-alih mengambil hikmah dari peristiwa lampau, kita seringkali mengabaikan “lesson learned” yang tersirat di dalamnya. Sejarah hanya menjadi parade tanggal dan peristiwa tanpa menyentuh substansi nilai-nilai yang seharusnya diambil.

Di Indonesia sendiri, siklus konflik sosial adalah salah satu bukti nyata dari perkataan Hegel. Perhatikan evolusi konflik sosial di tanah air kita:

  • Kasta Hindu Majapahit (Abad ke-11–13): Muncul struktur kasta—Sudra (kerakyatan), Brahmana (agama), dan Ksatria (bangsawan/militer).
  • Kedatangan Islam (Abad ke-12): Struktur berubah menjadi Abangan (kerakyatan), Santri (agama), dan Priyayi (bangsawan).
  • Era Ideologi Modern (Abad ke-20): Pasca-Perang Dunia, ideologi baru muncul—Nasionalisme (Ksatria), Agama (Brahma), dan Komunisme (Sudra).
  • Orde Lama (1945–1965): Sukarno mengutamakan semangat kerakyatan (Sudra) dan mendekatkan Indonesia ke Rusia, melawan neo-kolonialisme Barat.
  • Orde Baru (1965–1998): Suharto mengedepankan semangat militer (Ksatria) dan menekan ideologi komunisme, serta kelompok non-Jawa dan agama.
  • Reformasi (1998–sekarang): Dominasi kekuatan agama (Brahmana) bangkit sebagai respons terhadap penekanan di era sebelumnya.

Apakah pola ini terasa familiar? Tiga kekuatan besar—kerakyatan, agama, dan militer—terus berputar seperti roda samsara. Setiap pemerintahan yang berkuasa dipandang sebagai kendaraan baru yang patut “dijatuhkan” oleh penumpangnya, agar giliran berikutnya menjadi pemegang kemudi.

Ego Golongan: Penyebab Siklus Tak Berujung

Mengapa pola ini terus berulang? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: egoisme golongan. Setiap kelompok selalu mencari pembenaran diri, mengglorifikasi keberadaannya sendiri, dan berusaha mendominasi yang lain. Kepentingan kolektif yang seharusnya menjadi fokus bersama, sering kali terpinggirkan.

Sejarah Indonesia memperlihatkan dengan jelas bagaimana tiga kekuatan utama—kerakyatan (Sudra), agama (Brahma), dan militer (Ksatria)—saling bergantian menguasai dan berebut pengaruh. Sayangnya, setiap kali salah satu dari mereka berkuasa, tujuan utamanya bukan untuk membangun harmoni atau kesejahteraan bersama, melainkan memperbesar glorifikasi narsistik mereka sendiri.

Masalah ini tidak hanya terjadi di tingkat negara. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering melihat ego golongan ini mewujud dalam perdebatan politik, sosial, hingga agama.

Contoh paling nyata adalah politik identitas yang terus menjadi perbincangan hangat. Lihatlah bagaimana kita menghadapi siklus ketegangan sosial setiap kali mendekati pemilihan umum. Isu-isu yang seharusnya sudah selesai menjadi bahan perdebatan kembali, baik di media sosial maupun grup WhatsApp keluarga. Seolah-olah sejarah konflik identitas di masa lalu tidak pernah ada untuk dijadikan pelajaran.

Cermin yang Tak Mau Dilihat

Sejarah sebenarnya adalah cermin yang memberikan kita gambaran jelas tentang wajah kita sendiri. Namun, manusia kerap enggan bercermin. Kita lebih memilih untuk menutup mata dan berjalan dalam lingkaran yang sama, berharap menemukan hasil yang berbeda.

Bayangkan saja bagaimana isu politik identitas masih menjadi senjata andalan dalam politik modern. Konflik yang kita alami pada tahun 2019, kemungkinan besar akan kembali muncul di tahu-tahun selanjutnya. Dengan tingkat literasi sejarah yang rendah dan budaya “cepat lupa” yang mendominasi, kita hanya akan mengulang perdebatan yang sama.

Sejarah sudah berkali-kali memberikan pelajaran tentang dampak buruk konflik identitas, namun entah mengapa, manusia tetap memilih jalan yang sama.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertanyaan yang lebih penting adalah: Bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran setan ini? Apakah ada jalan untuk menghentikan siklus konflik yang terus berulang?

  1. Belajar dari Sejarah dengan Serius
    Kita perlu mengubah cara kita mempelajari sejarah. Buku-buku sejarah kita harus mulai lebih fokus pada substansi “lesson learned” daripada sekadar parade tanggal dan peristiwa.
  2. Meningkatkan Literasi Kritis
    Masalah utama masyarakat kita adalah kurangnya literasi kritis. Kita lebih sering terpancing oleh narasi emosional daripada berpikir secara rasional dan analitis. Pendidikan filsafat dan logika harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kita sejak dini.
  3. Membangun Kesadaran Kolektif
    Kita perlu belajar untuk melihat kepentingan kolektif di atas kepentingan golongan. Glorifikasi narsistik yang sering kali menjadi akar masalah harus digantikan dengan semangat kebersamaan dan harmoni sosial.
  4. Mendidik Generasi Masa Depan
    Generasi muda harus diajarkan untuk memahami sejarah dengan cara yang lebih mendalam. Mereka harus belajar bahwa sejarah adalah cermin yang menunjukkan bagaimana kita bisa menjadi lebih baik, bukan hanya rekaman kegagalan masa lalu.

Kesimpulan

Sejarah, dengan segala pelajaran berharganya, akan tetap menjadi sekadar cermin bisu jika kita enggan untuk bercermin. Perkataan Hegel bahwa “manusia tidak pernah belajar dari sejarah” adalah argumen yang nyaris tak terbantahkan.

Namun, itu bukan alasan untuk menyerah. Selama kita memiliki kesadaran untuk berubah, ada harapan bagi kita untuk memutus siklus konflik dan membangun dunia yang lebih baik. Mungkin, suatu hari nanti, sejarah tidak lagi hanya menjadi rekaman kegagalan manusia, tetapi juga menjadi catatan tentang bagaimana kita akhirnya belajar untuk menjadi lebih bijak.

Penulis

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “Argumen Tidak Terbantahkan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *