Pernikahan politik sudah menjadi bagian dari strategi kekuasaan sejak zaman dahulu. Di balik kilau mahkota dan pesta megah, ada intrik yang tak kalah rumit dari drama Korea. Bahkan, sejarah Jawa menyimpan kisah-kisah pernikahan politik yang berakhir tragis, penuh konflik, hingga mengobarkan peperangan.
Dua kisah berikut ini adalah contoh nyata bagaimana cinta sering kali menjadi korban dalam permainan ambisi politik.
Kisah Pertama: Amangkurat III dan Raden Ayu Lembah
Mari kita mulai dengan Raden Mas Sutikna, yang lebih dikenal sebagai Sri Sunan Amangkurat III, raja Mataram Islam. Pada tahun 1698, ia dinikahkan dengan Raden Ayu Lembah, putri Pangeran Puger (yang kelak menjadi Sri Sunan Pakubuwono I). Pernikahan ini adalah langkah strategis yang diambil Amangkurat II (ayah Amangkurat III) untuk meredam ambisi politik Pangeran Puger.
Tapi, seperti kata pepatah, “Cinta itu butuh dua hati, bukan sekadar titah raja.” Pernikahan ini jauh dari kata harmonis. Raden Ayu Lembah tidak menyukai suaminya, dan tak lama berselang drama pun memuncak.
Raden Ayu Lembah berselingkuh dengan Raden Sukra, anak patih Raden Sindureja. Amangkurat III yang murka menceraikan istrinya dan memerintahkan hukuman mati bagi Raden Ayu Lembah serta selingkuhannya. Tragisnya, keluarga Pangeran Puger yang menentang keputusan ini justru menghadapi ultimatum: Pangeran Puger diperintahkan menghukum mati putrinya sendiri sebagai bukti loyalitas.
Raden Ayu Lembah akhirnya dihukum gantung di Laweyan, Surakarta. Sementara itu, dayang-dayang Raden Ayu Lembah yang dianggap terlibat turut mendapat nasib tragis: mereka ditelanjangi dan dikurung dalam kadang macan, meninggal diterkam hewan buas.
Tragedi ini memicu pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Suryakusuma, saudara Raden Ayu Lembah. Ia menghimpun pasukan untuk melawan Amangkurat III, hingga akhirnya meminta bantuan VOC. Konflik ini mencapai puncaknya pada tahun 1705, ketika pasukan gabungan Pangeran Puger dan VOC merebut Kartasura. Amangkurat III akhirnya menyerah dan diasingkan ke Sri Lanka pada tahun 1708.
Kisah Kedua: Raden Mas Said dan Raden Ayu Inten
Kisah kedua membawa kita ke Perang Suksesi Jawa Ketiga (1746–1757), perang saudara yang melibatkan kerabat kerajaan Mataram dan VOC. Raden Mas Said (kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa) menikah dengan Raden Ayu Inten, putri Pangeran Mangkubumi (yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana I). Pernikahan ini adalah langkah politik untuk memperkuat aliansi antara Mangkubumi dan Raden Mas Said melawan VOC dan Pakubuwono II.
Namun, seperti kisah sebelumnya, aliansi politik ini tidak bertahan lama. Setelah Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) yang membagi Mataram menjadi tiga wilayah (Surakarta, Ngayogyakarta, dan Mangkunegaran), hubungan antara Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi berubah menjadi permusuhan.
Puncaknya, Raden Mas Said mengembalikan Raden Ayu Inten kepada ayahnya. Bahkan, Sri Sultan Hamengkubuwana I mengadakan sayembara untuk menangkap menantunya itu. Meski akhirnya Raden Mas Said berhasil mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Cinta vs Politik: Siapa yang Menang?
Dua kisah di atas menunjukkan bahwa pernikahan politik sering kali tidak hanya gagal menyelesaikan konflik, tetapi juga memperparahnya. Ambisi, pengkhianatan, dan kekerasan membuat cinta tenggelam di bawah bayang-bayang kekuasaan. Namun, kisah-kisah ini juga menggambarkan kompleksitas sejarah Jawa yang kaya akan intrik politik.
Belajar dari Masa Lalu
Pernikahan politik mungkin sudah menjadi bagian dari sejarah, tetapi pelajaran darinya tetap relevan hingga hari ini. Kekuasaan tanpa kemanusiaan hanya akan membawa kehancuran, baik bagi individu maupun masyarakat.
Semoga kita tidak hanya mengingat kisah-kisah ini sebagai tragedi, tetapi juga sebagai pengingat untuk menghargai cinta, kemanusiaan, dan keadilan di atas ambisi.
Leave a Reply