Pernah dengar nama Niccolò Machiavelli? Kalau belum, tenang, kamu nggak sendirian. Tapi kalau pernah dengar kata “Machiavellian” yang sering dipakai buat nyebut orang yang licik dan manipulatif, ya… itu semua gara-gara dia.
Machiavelli bukan politikus biasa. Dia adalah filsuf politik yang berani membongkar kenyataan pahit soal kekuasaan—dan itu bikin banyak orang nggak nyaman. Alih-alih mengajarkan moralitas dalam politik, dia malah bilang “Yang penting hasilnya, bukan caranya.”
Hasilnya? Pemikirannya jadi kontroversial bahkan sampai 500 tahun setelah dia meninggal. Mari kita kulik lebih dalam kenapa Machiavelli dianggap “berbahaya”.
Si Jujur yang Kebangetan
Bayangkan kamu punya teman yang nggak pernah basa-basi. Ketika kamu minta pendapat soal baju baru, dia langsung bilang, “Wah, itu sih jelek banget, kelihatan kayak gorden nenek-nenek.”
Sakit? Iya.
Tapi jujur? Banget.
Nah, itulah yang Machiavelli lakukan. Bedanya, dia nggak ngomongin fashion, tapi soal cara kerja kekuasaan yang sesungguhnya.
Di zaman dia, filsuf politik selalu ngomong soal kebajikan dan moralitas dalam kepemimpinan. Sementara Machiavelli? Dia bilang “Coba lihat kenyataan deh, pemimpin yang terlalu baik malah sering dihancurkan.”
Dia percaya bahwa:
- Lebih baik ditakuti daripada dicintai (kalau nggak bisa punya dua-duanya).
- Politik nggak selalu butuh moralitas tinggi.
- Kekuasaan perlu trik, bukan cuma niat baik.
Dan boom! Dunia politik langsung geger.
“Kamu Itu Salah, Machiavelli!”
Begitu bukunya “The Prince” terbit, langsung banyak yang ngamuk.
- Gereja Katolik: “Kok bisa sih bilang kebajikan nggak penting dalam politik?! Sesat banget!”
- Kaum bangsawan: “Kamu bongkar trik kami di depan rakyat! Nggak asik!”
- Para filsuf moral: “Harusnya pemimpin tuh baik dan bijaksana, bukan manipulatif!”
Sementara itu, Machiavelli cuma duduk santai sambil minum anggur, karena dia tahu semua yang dia tulis memang terjadi di dunia nyata.
Ironisnya, meskipun banyak yang marah, para penguasa tetap membaca bukunya. Soalnya, meskipun kontroversial, The Prince sebenarnya adalah panduan bertahan hidup dalam politik yang brutal.
Bukan Promosi Kejahatan, Tapi Fakta Pahit
Banyak orang salah paham dan menganggap Machiavelli menganjurkan kekejaman. Padahal, dia cuma menjelaskan fakta:
- Pemimpin baik sering dikalahkan oleh pemimpin yang lebih licik.
- Orang lebih percaya tampilan luar daripada kenyataan.
- Kamu bisa saja baik, tapi kalau terlalu lemah, ya tetap bakal kalah.
Contohnya?
Lihat aja dunia politik zaman sekarang. Image lebih penting daripada kenyataan. Pemimpin yang terlihat karismatik dan kuat lebih dipilih daripada yang jujur tapi lemah.
Machiavelli tidak menyarankan kejahatan, dia cuma menunjukkan bahwa dunia memang nggak seindah teori moral.
Kenapa Pemikirannya Masih Relevan Sampai Sekarang?
Sekarang coba pikir…
- Kenapa politisi lebih sibuk membangun citra daripada memperbaiki kebijakan?
- Kenapa pemimpin yang ‘tampak kuat’ lebih populer, walaupun kebijakannya biasa aja?
- Kenapa banyak pemimpin baik malah kalah di politik?
Jawabannya ada di pemikiran Machiavelli.
Setiap kali kita melihat pemimpin yang lebih peduli dengan pencitraan daripada kebijakan, setiap kali kita menyadari bahwa politik itu permainan strategi, bukan sekadar moral, kita sedang hidup dalam dunia Machiavelli.
Machiavelli Salah atau Justru Benar?
Mungkin bukan Machiavelli yang salah, tapi kita yang nggak siap menerima kebenaran yang pahit.
Dia bukan mengajarkan kita buat jadi licik. Dia cuma mengingatkan kita bahwa dunia nggak selalu adil, dan kadang kita harus realistis.
Jadi, kalau suatu saat kamu ketemu pemimpin yang terlihat sempurna, jangan langsung percaya. Ingat, Machiavelli sudah mengingatkan kita sejak 500 tahun yang lalu:
“Manusia itu plin-plan dan lebih peduli dengan tampilan luar daripada kenyataan.”
Jadi, kamu masih yakin politik itu soal kebajikan? Atau justru Machiavelli yang sebenarnya benar sejak awal?

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply