Homo Overthinking

homo overthinking

Meja-meja penuh dengan cetak biru desain makhluk hidup. Dua “pekerja lepas semesta”, Evolusi dan Mutasi Random, lagi stres ngerjain tenggat waktu. Evolusi, digambarkan kayak platipus yang kelelahan, membanting stapler ke meja. Sementara Random, makhluk mirip paramecium yang hiperaktif, sibuk ngubek-ubek tumpukan folder kayak karyawan baru yang lupa lokasi file penting.

“Random, mana prototipe predator puncak berikutnya?” bentak Evolusi. “Deadline udah mepet, dan yang kita punya cuma konsep sloth raksasa yang doyan tidur!”

Random menyengir. “Tenang, Evo! Aku punya ide. Ini dia: Homo Overthinking. Makhluk yang bisa mikir keras, bikin strategi, bahkan… meragukan eksistensi mereka sendiri!”

Evolusi menghela napas panjang. “Kita butuh makhluk yang bisa bertahan hidup, bukan yang malah stres sendiri mikirin arti hidup pas lagi dikejar macan gigi pedang.” Tapi ya udahlah, proyek jalan terus. Dan jadilah kita: manusia modern.


Manusia: Proyek Evolusi yang Kebablasan?

Awalnya, Homo Overthinking tampak menjanjikan. Mereka belajar bikin api, ngebangun kota, sampai ngirim diri sendiri ke luar angkasa. Tapi ada efek samping yang nggak diduga: kesadaran diri yang kelewat aktif.

Alih-alih cuma fokus bertahan hidup, mereka mulai mikir hal-hal absurd:

  • “Apa tujuan hidup?”
  • “Kenapa langit biru?”
  • “Kalau kucing bisa ngomong, kira-kira bahasanya kayak gimana?”
  • “Haruskah aku bales chat sekarang atau besok aja biar nggak keliatan desperate?”

Kesadaran ini, yang tadinya senjata andalan buat bertahan hidup, malah jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, manusia bisa bikin inovasi luar biasa. Di sisi lain, mereka bisa terjebak dalam pikiran sendiri, cemas sama masa depan yang belum tentu kejadian.


Ketika Overthinking Jadi Fitur, Bukan Bug

Coba pikirkan ini: kenapa kita bisa mikirin hal-hal yang belum terjadi? Karena itu penting buat bertahan hidup. Dulu, kalau nenek moyang kita dengar suara gemerisik di semak-semak, mereka langsung mikir:

“Harimau atau cuma angin?”

Yang nekat mikir “cuma angin” tanpa investigasi biasanya masuk seleksi alam duluan. Jadi kemampuan overthinking ini sebenernya kayak sistem alarm mental yang bikin kita lebih waspada dan bisa nyiapin strategi.

Tapi masalahnya, sekarang nggak ada harimau yang siap nerjang kita tiap hari (kecuali harimau metaforis kayak tagihan bulanan atau notifikasi bos di WhatsApp). Jadi sistem alarm ini malah nyala terus buat hal-hal sepele. “Kirim email ke klien pakai ‘Salam Hangat’ atau ‘Terima Kasih’ ya?”


Kesadaran Itu Hadiah atau Kutukan?

Dari sudut pandang evolusi, kesadaran ini agak ambigu. Di satu sisi, itu bikin kita jadi spesies paling dominan di Bumi. Tapi di sisi lain, itu juga bikin kita jadi makhluk paling resah seplanet ini. Kita tahu kita bakal mati suatu hari nanti. Dan nggak ada makhluk lain yang harus nanggung beban eksistensial seberat ini.

Makanya, banyak yang bilang manusia itu “terlalu pintar untuk kebaikan mereka sendiri.” Kita bisa mikir soal alam semesta, tapi juga bisa berjam-jam galau karena salah kirim emoji di chat gebetan.


Jadi, Apa Tujuan Kesadaran?

Kalau tanya Evolusi, dia mungkin bakal jawab sambil garuk-garuk kepala: “Tergantung kalian, sih.” Karena kesadaran bukan kayak aplikasi bawaan yang ada manualnya. Itu kayak alat multi-fungsi yang bisa dipakai buat bikin karya agung atau malah bikin lubang buat diri sendiri.

Mungkin tujuannya bukan hasil akhir, tapi perjalanan mencari makna itu sendiri. Kesadaran bikin kita bisa mengapresiasi keindahan, belajar dari kesalahan, dan terus berusaha memahami tempat kita di alam semesta. Ya, kita Homo Overthinking, spesies yang penuh kecemasan, tapi juga penuh potensi luar biasa.

Jadi kalau suatu hari kamu overthinking soal hidup, ingat aja: itu bagian dari paket kesadaran. Dan siapa tahu, justru dari overthinking itu kamu bisa nemuin sesuatu yang berharga.


Kesimpulan:
Kesadaran kita adalah hadiah sekaligus tantangan terbesar. Kita bisa mikir, meragukan, cemas, dan bikin teori sendiri. Tapi itu juga yang bikin kita bisa terus tumbuh dan mencari makna di tengah absurditas hidup. Jadi, kalau pikiran kamu lagi kusut, mungkin itu cuma Evolusi dan Random yang ketawa dari kejauhan sambil bilang:

Selamat menikmati fitur terbaru Homo Overthinking: pikiran yang nggak pernah diam.

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “Homo Overthinking”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *