Pernah denger cerita tentang para ilmuwan zaman dulu yang nekat melawan dogma demi mengungkap kebenaran? Kita sering diajarin kalau Revolusi Sains itu kayak fase hidup yang akhirnya “beres” pas Newton nyusun hukum gerak. Tapi kenyataannya? Revolusi ini lebih mirip serial panjang yang terus dapet season baru, bukan film dengan ending yang jelas.
Mari kita bahas bareng-bareng—biar nggak salah kaprah!
Apa Itu Revolusi Sains?
Biasanya merujuk ke periode antara abad ke-16 sampai ke-18, saat para pemikir kayak Galileo, Copernicus, dan Newton mulai ngegas dengan ide-ide yang bikin gereja dan otoritas waktu itu garuk-garuk kepala. Mereka bikin teori yang melibas kepercayaan kuno:
- Copernicus: “Bumi bukan pusat semesta, lho!”
- Galileo: “Coba deh lihat lewat teleskop, seriusan deh.”
- Newton: “Ini nih hukum gerak dan gravitasi. Bumi muter? Bisa dijelaskan pake rumus!”
Zaman itu bener-bener kayak pesta pemikiran liar yang akhirnya jadi fondasi sains modern.
Newton, Sang “Penutup” Revolusi? Nggak Juga
Ada yang bilang Revolusi Sains selesai pas Newton terbitin Principia Mathematica (1687). Soalnya hukum geraknya kayak bisa jelasin semua fenomena fisika. Tapi ternyata, teori Newton cuma permulaan. Begitu ilmuwan nyadar hukum itu nggak berlaku di kecepatan cahaya atau partikel super kecil, mereka langsung mikir:
“Oke, ini keren. Tapi kita butuh lebih.”
Dan bener aja—lahirlah teori relativitas, mekanika kuantum, sampai ke fisika partikel. Jadi, kalau ada yang bilang Revolusi Sains berhenti di Newton, coba ajak ngobrol Einstein dulu.
Ketika Filsafat Ikut Ngacak-ngacak
Di tengah kemeriahan ini, para filsuf nggak mau kalah. René Descartes nyelipin pertanyaan eksistensial: “Apa kita bisa beneran tahu sesuatu dengan pasti?” Terus ada David Hume yang skeptis abis, nanya: “Apa pengalaman kita cukup buat ngeklaim kebenaran mutlak?”
Artinya, meski sains makin canggih, ada aspek-aspek kehidupan yang nggak bisa dijawab sama teleskop atau mikroskop. Revolusi Sains, yang awalnya cuma mau “bongkar alam semesta,” malah jadi bola salju yang bergulir ke ranah pikiran manusia.
Revolusi Industri: Sains Jadi Mesin Uang
Terus, tiba-tiba Revolusi Industri nyelonong masuk. Mesin uap, listrik, dan teknologi bikin sains jadi lebih pragmatis. Kalau tadinya eksperimen cuma buat kepuasan intelektual, sekarang jadi soal keuntungan ekonomi. Ini kayak momen di mana sains berhenti jadi anak indie dan mulai masuk label rekaman buat ngejar chart nomor satu.
Hasilnya?
- Sains jadi profesi, bukan sekadar hobi aneh para pemikir.
- Muncul spesialisasi: fisika, kimia, biologi, dll.
- Penemuan demi penemuan didorong kebutuhan pasar, bukan sekadar rasa penasaran.
Buat sebagian orang, ini kayak penutupan Revolusi Sains. Tapi sebenernya, ini cuma fase baru yang lebih “ngotot” dan aplikatif.
Kenapa Revolusi Sains Nggak Akan Pernah Berakhir?
Kalau dipikir-pikir, jadi lebih mirip serial panjang yang nggak bakal habis-habis. Buktinya:
- Teori Relativitas (Einstein) ngeguncang fisika klasik.
- Mekanika Kuantum bikin kita paham partikel subatomik, tapi malah bikin lebih banyak pertanyaan.
- AI dan Komputasi sekarang mulai buka wacana baru soal kecerdasan buatan dan kesadaran digital.
Setiap kali kita pikir “udah paham,” ada aja misteri baru yang nongol. Sains itu kayak labirin yang makin jauh kita masuk, makin banyak pintu yang kebuka.
Kesimpulan: Revolusi Sains Adalah Proses, Bukan Tujuan
Jadi, kalau ada yang nanya kapan Revolusi Sains selesai, jawabannya simpel: Belum. Dan mungkin nggak akan pernah.
Karena selama masih ada manusia yang penasaran sama alam semesta, hidup, dan keberadaan dirinya sendiri, sains bakal terus berevolusi. Revolusi Sains itu kayak lagu yang terus diputar ulang, dengan remix dan aransemen baru setiap zamannya.
Jadi, kalau besok ada berita “ilmuwan menemukan partikel baru” atau “teori lama dipatahkan,” jangan kaget. Itu tandanya, kita semua masih ada di tengah-tengah Revolusi Sains yang terus berdenyut, meskipun kita nggak selalu sadar.
Karena bertanya adalah naluri manusia. Dan sains adalah cara kita menjawabnya.

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply