Dulu, aku tertawa bersama rebusan kaldu,
Menyaksikan antrean panjang di warung kecilku
Mie ayamku dielu-elukan,
diseruput, dipuji, dihabiskan dengan senyum puas
Kepercayaanku pun tersenyum puas
Esoknya, dengan penuh kebanggaan,
kusodorkan semangkuk bakso buatanku
“Cobalah ini. Lebih enak.“
Tapi mereka semua menggeleng, menolak dengan sopan,
Kata mereka, “Tidak tuan. Mie ayam saja sudah cukup.“
Hari berganti, kuah bakso masih terus mendidih,
dan masih, belum satu orang pun sudi mencicipi
Mereka tak tahu, mereka tak mau
Dan tak ada satupun yang mau tahu
Mereka terlanjur terbuai dengan sari pati mie ayamku
Ku amati sudut panci, bakso-bakso mulai gelisah,
terendam dalam kesunyian yang kian pekat
Sambil menatapku meracik mie ayam kesayangan pelangganku
“Jangan kau tatap aku seperti itu, bakso-baksoku.“
“Aku pun heran mengapa mereka begitu gigih menolakmu.”
Padahal aku meracik mu dengan hati yang lebih dalam
Jauh daripada mie ayam yang mereka elu-elukan
Aku yakin, setiap gigitanmu akan jauh lebih kaya rasa,
Lebih hangat, dan juga lebih jujur
Tapi nampaknya kepercayaan itu hanya milikku seorang
Malam itu, warung sudah sepi dan panci kaldu sudah kosong,
Kusajikan satu mangkuk bakso hangat untuk ku sendiri
Ku nikmati setiap sari pati yang bisa ia tawarkan
Ku tatap mangkuk yang sekejap kosong itu sambil berbisik
“Tenanglah, aku tak akan menyerah menjajakanmu.“

Karakter sederhana yang menyukai kompleksitas. Punya ketertarikan yang sedikit tidak wajar dengan hal yang berbau kontradiksi. Juga salah satu saksi dibalik lahirnya Ngulik Enak.
Leave a Reply