Pernah nggak sih, kamu membayangkan masa depan yang cerah? Mungkin kamu pernah duduk di kafe, minum kopi, lalu tiba-tiba kepikiran, “Nanti aku bakal punya bisnis sukses, kerja santai, duit ngalir sendiri, hidup bahagia, dan keliling dunia.”
Atau yang lebih sederhana, “Gue bakal mulai olahraga minggu depan, bentar lagi badan gue jadi six-pack.”
Kedengarannya familiar? Nah, selamat datang di dunia Optimism Bias.
Apa Itu Optimism Bias?
Optimism bias adalah kecenderungan manusia untuk melihat masa depan dengan kacamata penuh warna, tanpa mempertimbangkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Otak kita cenderung membayangkan hal-hal yang positif, karena itu lebih menyenangkan daripada mikirin risiko dan tantangan.
Daniel Gilbert, seorang psikolog dari Harvard, menemukan bahwa manusia lebih sering membayangkan keberhasilan dibandingkan kegagalan. Bukan karena kita bego, tapi karena kita secara alami lebih suka hidup dengan harapan daripada ketakutan.
Sayangnya, di balik semua itu, ada masalah besar.
Kenapa Optimism Bias Bisa Menyesatkan?
Bayangin kamu mau mulai bisnis. Kamu baca kisah sukses pengusaha yang dulu jualan gorengan, sekarang punya 20 cabang restoran. Terus kamu mikir, “Gue juga bisa sukses kalau kerja keras!”
Tapi tunggu dulu.
Dari 100 orang yang mulai bisnis, mungkin cuma 1-2 yang benar-benar sukses. Sisanya? Mereka nggak muncul di berita, nggak diwawancara. Mereka gagal diam-diam. Ini yang disebut Survivorship Bias—kita hanya melihat yang berhasil, sementara yang gagal menghilang dari radar.
Fenomena ini mirip dengan kisah Abraham Wald, seorang ahli matematika di Perang Dunia II. Saat militer ingin memperkuat pesawat tempur, mereka menganalisis bagian pesawat yang penuh lubang peluru dan berpikir, “Kita harus perkuat bagian ini!”
Tapi Wald bilang, “Tunggu dulu, kalian hanya melihat pesawat yang berhasil pulang. Yang penting dianalisis itu justru pesawat yang hancur di medan perang!”
Ini sama seperti bisnis. Kita sering fokus pada mereka yang sukses, tanpa melihat berapa banyak yang tumbang di tengah jalan.
Contoh Klasik: Tulip Mania
Pernah dengar kisah Tulip Mania?
Pada abad ke-17 di Belanda, orang-orang percaya bahwa bunga tulip adalah investasi yang menguntungkan. Harga tulip naik gila-gilaan karena semua orang berpikir, “Ah, besok pasti lebih mahal.”
Sampai akhirnya? Boom! Pasar runtuh, harga tulip jatuh, dan banyak orang bangkrut.
Ini contoh klasik gimana optimisme berlebihan bisa bikin kita lupa realitas.
Bagaimana Mengatasi Optimism Bias?
- Selalu Siapkan Plan B
Jangan cuma mikirin skenario terbaik. Tanyakan juga, “Kalau ini gagal, apa yang harus gue lakukan?” - Pelajari Statistik, Bukan Cuma Kisah Sukses
Jangan hanya baca cerita orang sukses, tapi lihat juga data tentang kegagalan. Itu bakal ngasih gambaran lebih realistis. - Jangan Hanya Berkhayal, Mulai Eksekusi
Berkhayal itu nggak salah, tapi kalau cuma ngawang-ngawang tanpa tindakan, ya percuma. Mulailah dengan langkah kecil dan ukur progresmu.
Kesimpulan
Manusia secara alami suka berkhayal yang baik-baik saja. Itu bukan hal buruk, tapi kalau nggak dikontrol, bisa bikin kita gagal melihat risiko dan akhirnya jatuh ke lubang yang sama.
Jadi, daripada cuma mimpi indah, lebih baik kita mulai menyusun rencana nyata, siap menghadapi tantangan, dan berpikir lebih realistis. Karena sukses itu bukan cuma soal optimisme, tapi juga kesiapan menghadapi kenyataan.

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply