Pendidikan formal selalu menjadi bahasan menarik sekaligus penuh paradoks. Ia digadang-gadang sebagai kunci menuju masa depan yang lebih baik, namun dalam praktiknya, sering kali menjadi ruang yang membingungkan antara harapan dan kenyataan. Di satu sisi, ada kritik tajam dari Donald Trump dalam bukunya The Art of the Deal (1987), yang menyoroti kelemahan sistem pendidikan formal di Amerika Serikat. Di sisi lain, ada kisah Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi, yang menawarkan pandangan segar tentang bagaimana pendidikan bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan dan membebaskan.
Antara kritik tajam Trump dan sisi humanis Totto-chan, muncul sebuah dilema: apakah pendidikan formal, dengan segala kelebihannya, masih relevan untuk dunia nyata yang terus berubah?
Pendidikan Formal: Antara Harapan dan Realitas
Pendidikan formal sering kali dianggap sebagai tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, harapan ini tidak selalu berjalan selaras dengan kenyataan. Trump, dalam bukunya, secara gamblang menyatakan bahwa sistem pendidikan formal di AS gagal memberikan keterampilan praktis yang benar-benar relevan untuk dunia kerja. Kritik ini tidak sepenuhnya salah jika kita melihat realitas pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, sistem pendidikan sering kali masih terjebak dalam pola hafalan dan mengejar nilai akademik semata. Murid-murid didorong untuk mengejar predikat cum laude, tetapi apakah predikat tersebut benar-benar mencerminkan kompetensi yang diperlukan untuk bertahan di dunia nyata? Banyak lulusan perguruan tinggi yang akhirnya merasa “gagal” karena tidak mampu bersaing atau bahkan sekadar memenuhi ekspektasi pasar kerja.
Trump dengan lugas mengatakan: “Gelar hanya membuktikan bahwa seseorang pernah sekolah, tapi tidak menjamin mereka benar-benar belajar.” Pernyataan ini menantang kita untuk berpikir ulang: apakah sistem pendidikan formal benar-benar memberikan apa yang kita butuhkan?
Kisah Totto-chan: Pendidikan yang Menyentuh Hati
Di sisi lain, Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela menawarkan perspektif yang sangat berbeda. Buku ini menceritakan pengalaman seorang anak kecil yang dikeluarkan dari sekolah formal karena dianggap “bermasalah”, tetapi menemukan potensi dirinya di sebuah sekolah kecil yang unik. Di sekolah ini, Totto-chan diajarkan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pengalaman.
Sekolah ini tidak hanya berfokus pada nilai akademik, tetapi juga pada kebebasan berpikir, kreativitas, dan rasa ingin tahu. Guru-guru di sekolah ini memahami bahwa setiap anak adalah individu yang unik, dengan cara belajar dan potensi yang berbeda-beda.
Pendekatan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan seharusnya bukan hanya soal mencetak nilai, tetapi juga tentang membangun manusia. Sayangnya, pendekatan seperti ini sering kali dianggap tidak praktis, bahkan utopis, dalam sistem pendidikan formal yang serba terstruktur.
Kritik dan Harapan: Menemukan Titik Temu
Kritik Trump terhadap sistem pendidikan formal dan inspirasi dari Totto-chan memberikan dua sudut pandang yang berbeda, tetapi keduanya memiliki benang merah: pendidikan yang relevan dan bermakna.
Trump mengkritik bagaimana sistem pendidikan formal terlalu fokus pada teori dan kurang memberikan ruang bagi keterampilan praktis. Ia juga menyoroti bagaimana pendidikan formal sering kali gagal mempersiapkan siswa untuk dunia kerja yang sesungguhnya. Sebaliknya, kisah Totto-chan menunjukkan bagaimana pendidikan bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan, membebaskan, dan tetap relevan dengan kebutuhan individu.
Jadi, apakah pendidikan formal benar-benar relevan? Jawabannya, seperti kebanyakan hal dalam hidup, tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan relevansi itu sendiri. Jika relevansi diukur dari kemampuan individu untuk bersaing di dunia kerja, maka pendidikan formal perlu bertransformasi untuk lebih fokus pada keterampilan praktis. Namun, jika relevansi diukur dari bagaimana pendidikan membentuk manusia yang berpikir kritis, kreatif, dan penuh empati, maka kita perlu mencontoh pendekatan seperti yang ditunjukkan dalam kisah Totto-chan.
Pendidikan Formal di Indonesia: Refleksi dan Tantangan
Di Indonesia, sistem pendidikan masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Salah satunya adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara pendidikan berbasis teori dan praktik. Kita masih terlalu terobsesi dengan nilai dan gelar, sehingga melupakan esensi pendidikan itu sendiri.
Banyak anak yang tumbuh dengan pandangan bahwa kesuksesan hanya bisa diraih melalui pendidikan formal, meskipun kenyataannya tidak demikian. Ayah Trump, yang hanya lulusan SMA, adalah salah satu contoh bagaimana pembelajaran di lapangan bisa lebih berarti daripada sekadar pendidikan formal. Hal yang sama berlaku untuk banyak individu sukses lainnya, baik di dalam maupun luar negeri.
Namun, bukan berarti pendidikan formal tidak penting. Ia tetap memberikan kerangka dasar yang diperlukan untuk berkembang. Masalahnya adalah bagaimana sistem pendidikan ini diimplementasikan. Apakah pendidikan kita mampu menghasilkan individu yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga mampu berpikir kritis, kreatif, dan relevan dengan kebutuhan zaman?
Menuju Pendidikan yang Lebih Relevan
Untuk menjawab tantangan ini, kita perlu memikirkan kembali bagaimana pendidikan formal dirancang dan dijalankan. Sistem pendidikan perlu lebih adaptif terhadap kebutuhan individu dan pasar. Pendidikan juga harus memberikan ruang bagi murid untuk mengeksplorasi potensi mereka tanpa rasa takut akan kegagalan.
Selain itu, kita perlu menanamkan nilai-nilai seperti kreativitas, rasa ingin tahu, dan empati dalam sistem pendidikan. Pendidikan tidak hanya tentang mencetak lulusan dengan nilai tinggi, tetapi juga tentang membentuk manusia yang mampu berkontribusi pada masyarakat.
Inspirasi dari Totto-chan mengajarkan kita bahwa pendidikan seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan dan membebaskan, bukan tekanan yang membebani. Kritik Trump, di sisi lain, mengingatkan kita bahwa pendidikan harus relevan dengan dunia nyata. Dua sudut pandang ini, meskipun tampak bertolak belakang, sebenarnya saling melengkapi.
Penutup: Membuka Ruang untuk Belajar
Pendidikan formal memang tidak sempurna, tetapi ia tetap memberikan peluang bagi mereka yang mau belajar dan berkembang. Yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkan pendidikan sebagai alat untuk membuka potensi diri, bukan sekadar formalitas untuk mendapatkan gelar.
Karena pada akhirnya, pendidikan sejati adalah tentang bagaimana kita belajar dari pengalaman, gagal, bangkit, dan terus berkembang menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Seperti kata Trump: “Kesuksesan datang dari kegagalan, bukan dari menghafal jawaban yang benar.”
Leave a Reply