Schopenhauer dan Filosofi Penderitaan

Schopenhauer dan Filosofi Penderitaan

Schopenhauer sering digambarkan sebagai sosok yang skeptis terhadap kehidupan. Salah satu pernyataan ikonisnya adalah,

“Nikmatilah rasa keindahan ini untuk sesaat, sebelum datang penderitaan.”

Pernyataan ini adalah intisari dari filsafatnya: hidup adalah siklus penderitaan yang tak terhindarkan. Baginya, penderitaan bukanlah anomali atau penyimpangan dalam kehidupan manusia, melainkan bagian inheren dari keberadaan itu sendiri.

Namun, filsafat penderitaan Schopenhauer bukan hanya sekadar keluhan. Ia terinspirasi dari ajaran Timur, terutama Budhisme, yang berfokus pada asal-usul penderitaan. Dalam pandangannya, penderitaan berasal dari apa yang ia sebut sebagai “kehendak untuk hidup” (will to live). Kehendak ini, yang muncul dari dorongan biologis dan psikologis manusia, membuat kita terus-menerus mengejar keinginan. Ironisnya, ketika keinginan terpenuhi, kepuasan hanya bertahan sementara sebelum muncul keinginan baru. Ini adalah lingkaran setan yang tiada akhir.

Senapan di Ranjang dan Ketidakpercayaannya pada Manusia

Kehidupan pribadinya sejalan dengan pandangan filsafatnya. Schopenhauer adalah seorang yang sangat tertutup dan dikenal tidak memiliki banyak teman. Bahkan, ia kerap membawa senapan dan meletakkannya di dekat tempat tidurnya. Meski kisah ini terdengar berlebihan, senapan tersebut adalah simbol ketidakpercayaannya terhadap manusia. Baginya, manusia adalah sumber utama penderitaan. Konflik, kebohongan, dan perebutan kekuasaan hanyalah beberapa contoh dari bagaimana manusia terus-menerus merusak diri sendiri dan orang lain.

Ia memilih untuk hidup dalam isolasi, jauh dari keramaian, karena ia percaya bahwa interaksi sosial sering kali penuh dengan kepalsuan dan hanya menambah beban emosional. Dalam salah satu tulisannya, ia menyatakan bahwa manusia adalah “makhluk egois” yang selalu menempatkan kebutuhannya di atas segalanya. Tidak heran jika ia merasa lebih nyaman ditemani senapan daripada berinteraksi dengan orang lain.

Kehendak untuk Hidup: Sumber Penderitaan

Menurut Schopenhauer, seluruh keberadaan manusia didorong oleh kehendak untuk hidup. Ini adalah dorongan universal yang menguasai semua makhluk hidup untuk bertahan, berkembang biak, dan mempertahankan eksistensi. Namun, dorongan ini membawa konsekuensi besar: penderitaan. Sebagai contoh, manusia menginginkan cinta, kekayaan, dan status, tetapi ketika keinginan itu tidak tercapai, ia akan mengalami frustrasi dan rasa sakit. Lebih buruk lagi, ketika keinginan itu tercapai, manusia hanya akan merasa puas sesaat sebelum muncul keinginan baru.

Schopenhauer memandang kehendak ini sebagai sesuatu yang tidak dapat dipadamkan. Dalam bukunya, The World as Will and Representation, ia menggambarkan kehidupan sebagai perjalanan tanpa akhir menuju sesuatu yang sebenarnya tidak pernah bisa diraih. Kehendak manusia adalah sebuah ilusi yang membuat kita percaya bahwa kebahagiaan ada di ujung jalan, padahal sebenarnya kita hanya berpindah dari satu penderitaan ke penderitaan lainnya.

Seni dan Kontemplasi: Pelarian Sementara

Namun, Schopenhauer tidak sepenuhnya nihilistis. Di tengah pesimisme yang mendalam, ia menawarkan seni dan kontemplasi sebagai cara untuk mengatasi penderitaan, meski hanya sementara. Baginya, seni—musik, terutama—adalah bentuk ekspresi manusia yang mampu mengalihkan perhatian dari kehendak. Ketika seseorang menikmati seni, ia berada dalam keadaan “pengabaian kehendak” (will-less contemplation), di mana ia terbebas dari dorongan keinginan yang tiada henti.

Schopenhauer juga menganggap musik sebagai seni tertinggi. Musik, menurutnya, mampu menggambarkan esensi kehidupan tanpa perlu menggunakan bahasa atau representasi visual. Dalam musik, ia menemukan keindahan yang melampaui penderitaan, meski hanya untuk sejenak.

Relevansi Schopenhauer di Era Modern

Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari pandangan hidup Schopenhauer? Di era modern yang penuh dengan hiruk-pikuk media sosial, tuntutan karier, dan ekspektasi masyarakat, konsep kehendak untuk hidup tetap relevan. Kehendak ini dapat terlihat dalam cara kita terus-menerus mengejar validasi dari “like” dan “follower”, yang sering kali hanya memberikan kebahagiaan sementara. Sama seperti yang Schopenhauer gambarkan, kita terjebak dalam siklus keinginan yang tidak pernah benar-benar terpenuhi.

Namun, pelajaran terbesarnya mungkin adalah bagaimana menghadapi penderitaan. Schopenhauer mengingatkan kita bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Alih-alih menyangkalnya, kita dapat belajar untuk menerimanya dan mencari cara untuk tetap bertahan. Seni, kontemplasi, atau bahkan tindakan sederhana seperti menulis dan berbicara dengan orang-orang yang kita percaya, dapat menjadi pelarian sementara dari kerasnya kehidupan.

Kesimpulan

Arthur Schopenhauer adalah figur yang sulit untuk diabaikan. Filosofinya yang pesimis tetapi mendalam menawarkan pandangan yang jujur tentang kehidupan manusia. Dari konsep kehendak untuk hidup hingga perannya sebagai pengkritik masyarakat, Schopenhauer mengajarkan kita untuk menerima kenyataan hidup dengan apa adanya, meski itu berarti menerima penderitaan sebagai bagian dari perjalanan.

Dan soal senapan di ranjang? Mungkin itu hanyalah metafora ekstrem tentang bagaimana ia memandang manusia. Tapi satu hal yang pasti, Schopenhauer adalah pengingat bahwa di balik segala penderitaan, selalu ada kesempatan untuk menemukan arti, meski hanya sementara.

Penulis

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “Schopenhauer dan Filosofi Penderitaan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *