Dulu, kalimat “Buk, aku masuk TV!” itu seperti simbol pencapaian. Ketika kita sudah muncul di layar TV, kita seolah menunjukkan kalau kita diakui, diperhatikan, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Entah itu muncul di liputan berita, tertangkap kamera di stadion, atau bahkan sekadar melambaikan tangan di belakang reporter, rasanya ada sensasi kebanggaan yang sulit dijelaskan. Sekelas kita sudah berhasil mengharumkan nama keluarga kita.
Tapi apakah kalimat itu masih seampuh dan semagis itu sekarang? Berapa lama lagi kita masih bisa mendengar kalimat itu? Apakah artinya masih akan sama bila iya? Atau kalimat itu akan hilang dan menjelma menjadi kalimat yang berbeda sesuai dengan perkembangan zamannya.
Mengapa Kalimat Ini Dulu Terasa Berkesan
Pada eranya, TV adalah medium besar dan eksklusif; tidak semua orang bisa ada di sana. Karena itu, ketika seseorang berhasil masuk TV meskipun itu hanya beberapa detik, itu terasa sekali istimewanya. Karena itu kita sering sekali mendengar kalimat itu sebagai guyonan. Kalimat itu seolah menjadi bukti kultural konkret bagaimana orang zaman itu seolah berlomba untuk bisa muncul di layar TV walau hanya beberapa detik. Muncul di TV adalah sesuatu yang sangat layak dibanggakan. Dan kebanggaan itu bahkan sangat layak dibagikan ke keluarga, tetangga dan sanak saudara kita. Karena dulu dampak kalimat ini tidak main-main loh. Kalimat ini juga punya unsur sosial yang kuat. Saat seseorang muncul di TV, bukan cuma keluarganya yang melihat—tetangganya, saudaranya, bahkan mungkin seisi kampung ikut menonton. Dalam sekejap dia dan keluarganya bisa menjadi trending topic di kampung itu, meskipun hanya sesaat. Di era itu, muncul di TV dapat seketika mengubah status sosial kita. Ambil contoh saja kasus Briptu Norman, bagaimana yang dia sebelumnya hanyalah seorang pria yang tinggal di sebuah daerah, tiba-tiba berubah ketika mendapat panggungnya di TV. Ia dikenal dimana-mana. Ia diundang ke berbagai acara. Orang yang sebelumnya tidak mengenalnya tiba-tiba berlomba minta foto bareng. Sekejap ia bagian dari artis-artis yang biasa dilihat di TV. Walaupun, yah, fame tidak selamanya long last. Kita bisa bahas itu di artikel lain lagi. Tapi intinya, di era itu, dengan dampak yang sebesar itu, tentu tidak mengherankan kenapa kalimat itu sangat berkesan dan sangat membanggakan.
Pergeseran Zaman, Pergeseran Media
Dunia terus bergerak dan tidak ada yang abadi. Dulu, eksposur adalah sebuah barang yang mahal dan mewah. Sekarang, setiap orang dengan mudah bisa punya panggungnya sendiri dalam genggaman tangannya. TikTok, YouTube, Instagram—platform digital telah mengubah standar eksposur yang sebelumnya sangat eksklusif. Jika dulu TV adalah gerbang menuju ketenaran, kini gerbang itu ada di genggaman tangan. Dalam sekali unggah, seseorang bisa viral dan ditonton jutaan orang tanpa perlu bergantung pada media arus utama.
Pergeseran ini membuat konsep “masuk TV” jadi kehilangan magisnya. Karena orang tidak lagi melihat keistimewaan dari sana. Dengan derasnya konten-konten sosial media yang diupload dan ditonton setiap harinya, semua orang punya kesempatan buat trending dan viral sekarang. Cukup melakukan sesuatu yang ‘menarik dan berbeda’ semua orang punya kesempatan untuk dilihat banyak orang. Trend “masuk TV” telah sukses digantikan oleh trend viral, bahkan sebelum era sosial media. Orang dengan mudah bisa masuk TV hanya bermodalkan viral atau trending di internet. Ditambah dengan sosial media makin mengubah segalanya. Kita bisa melihat diri sendiri di layar kapan saja. Kita bisa menciptakan panggung kita sendiri kapan saja. Kamera HP dan algoritma internet telah membuat eksposur lebih demokratis, meski juga lebih cepat berlalu. Jika dulu masuk TV terasa monumental, sekarang viral di internet bisa datang dan pergi dalam hitungan hari.
Apakah Kalimat Ini Akan Bertahan?
Well, dengan zaman yang terus bergeser, media yang juga terus bergeser, makna kalimat pun tentu akan terus bergeser. Mungkin, tapi dengan nuansa yang berbeda. Bisa jadi, bagi generasi yang tumbuh dengan internet, masuk TV bukan lagi sesuatu yang membanggakan, melainkan sesuatu yang terasa asing atau bahkan kuno. Atau, bisa saja kalimat ini bertahan, tetapi berubah menjadi sesuatu yang ironis—diucapkan lebih sebagai lelucon ketimbang kebanggaan. Menjadi bahan candaan untuk sesuatu yang cringe bagi yang merasa hal itu sudah terlampau kuno. Dan menjadi sebuah lelucon yang hanya bisa dinikmati dan diapresiasi oleh segelintir orang yang pernah hidup di era keemasan kalimat itu. Seperti orang yang dulu bangga masuk koran, tapi sekarang lebih memilih trending di media sosial. Evolusi ekspresi ini mungkin akan terus berlanjut. Atau kelak, kalimat ini berubah menjadi semacam “artefak bahasa”. Perlahan terkubur dan tergantikan oleh kalimat lain. Menunggu generasi berikutnya menemukan kembali kalimat ini beserta maknanya, lalu mereka gunakan lagi sesuai kebutuhan mereka. Entah diteliti sebagai bagian dari kebudayaan di zaman itu, atau diadaptasi menjadi jokes yang lain.
Penutup
Pada akhirnya, bahasa selalu berevolusi mengikuti perubahan zaman. Jika kalimat “Mama, aku masuk TV!” benar-benar menghilang, mungkin ia akan digantikan oleh sesuatu yang lebih relevan. “Ma, aku viral!” mungkin sudah jadi penggantinya, atau mungkin nanti akan ada ekspresi baru yang belum kita duga. Atau mungkin, justru karena zaman berubah begitu cepat, kita akan melihat tren yang berulang—dan suatu hari nanti, ada anak yang dengan bangga meneriakkan kalimat itu lagi, dengan cara yang sama sekali baru.
Tapi satu hal yang pasti: kebanggaan akan eksposur tidak akan pernah hilang, hanya bentuknya yang terus berubah. Dunia boleh berganti, tapi dorongan manusia untuk dikenali dan diakui akan selalu ada. Dan itu manusiawi. Jadi buat kamu yang mungkin masih punya keinginan untuk masuk TV, jadilah yang terbaik dari dirimu, dan kejarlah selagi kalimat itu masih bisa kita dengar dan masih bisa kita banggakan.
Leave a Reply