Model Bisnis Subscription

subs

Model bisnis subscription atau berlangganan telah mengubah cara perusahaan mengeruk keuntungan. Kita dipaksa membayar terus-menerus tanpa benar-benar memiliki barang atau jasa yang kita gunakan.

Sehabis menonton video TEDx yang dibawakan oleh Orit Dolev, penulis baru sadar bahwa model bisnis sekarang sudah mulai berubah drastis. Dulu, kita beli sesuatu, ya itu jadi milik kita. Sekarang? Tidak lagi.

Dolev dalam pidatonya berkata:

“Bayangkan sebuah dunia di mana Anda semakin kaya raya tapi semakin sedikit yang Anda miliki. Dunia di mana mobil mewah, rumah besar, dan pakaian mahal berhenti sepenuhnya menjadi simbol status dan berbalik menjadi beban… Dunia di mana pengalaman dapat menggantikan barang-barang yang kita anggap paling berharga. Apakah mungkin tidak memiliki apa-apa tapi bisa punya segalanya?”

Mari kita bahas lebih dalam.


Murah atau Justru Mahal?

Salah satu alasan kenapa subscription begitu populer adalah karena kelihatannya lebih murah.

  • Dulu, kita harus membeli DVD film dengan harga ratusan ribu rupiah.
  • Sekarang, dengan Disney+ Hotstar atau Netflix, kita hanya perlu membayar puluhan ribu per bulan untuk akses ke ribuan film dan serial.

Murah, kan?

Tapi seberapa sering kita benar-benar memanfaatkan layanan itu?

Contoh lain, seseorang mungkin berlangganan Canva Pro padahal hanya memakai beberapa template saja. Atau membayar CapCut Pro, padahal jika dia sedikit meluangkan waktu belajar, dia bisa memakai KDEN Live, software edit video open-source yang gratis dan tidak perlu langganan.

Atau lihat saja Tesla. Pengguna mobil listriknya sudah keluar uang banyak, tetapi masih harus membayar biaya langganan lagi untuk Full Self-Driving (FSD).

Subscription ini awalnya memang terasa ringan, tapi kalau diakumulasi bertahun-tahun, jatuhnya bisa lebih mahal daripada membeli langsung.


Bukan Hal Baru

Banyak yang mengira model bisnis ini adalah tren baru, padahal sebenarnya sistem subscription sudah ada sejak abad ke-17 di Eropa Barat.

  • Saat itu, model ini digunakan oleh surat kabar dan jurnal ilmiah.
  • Pembaca membayar biaya berlangganan untuk terus mendapatkan edisi terbaru tanpa harus membeli satu per satu.

Kemudian berkembang di berbagai industri, dari software, media, sampai kendaraan. Bedanya? Dulu subscription hanya untuk layanan, sekarang bahkan barang fisik pun masuk ke skema ini.


Apakah Ada Alternatif Selain Subscription?

Tidak semua orang suka dengan sistem langganan. Beberapa komunitas menolak model ini dan mencoba membuat ekosistem baru yang lebih adil.

Contohnya adalah Web3 dan blockchain, di mana:
✅ Semua orang bisa berpartisipasi dalam mengembangkan program.
✅ Tidak ada satu perusahaan besar yang memonopoli data atau layanan.
✅ Semua orang adalah pemilik dan bisa berkontribusi tanpa terikat aturan perusahaan tertentu.

Konsep ini memang belum sempurna, tapi mereka mencoba menawarkan sesuatu yang lebih bebas dan transparan dibandingkan subscription model konvensional.


Subscription Itu Oke, Tapi Bisa Berbahaya

Secara konsep, penulis tidak menolak subscription. Model ini bisa memberi kemudahan dan fleksibilitas, terutama jika digunakan untuk meningkatkan produktivitas.

Namun, jika subscription dipakai untuk hal-hal di luar nalar, ini bisa berubah menjadi pemerasan terselubung.

Misalnya:
🚨 Mobil mahal tapi fitur pentingnya harus langganan
🚨 Aplikasi wajib bayar terus-menerus tanpa opsi beli putus
🚨 Game yang meminta langganan hanya untuk bisa menang (pay-to-win)

Di masa depan, jangan kaget kalau semakin banyak produk yang memakai model ini. Dan tugas kita sebagai konsumen? Jangan sampai terjebak dalam subscription yang tidak perlu.

Jadi, apakah subscription itu solusi atau jebakan? Tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Tagar terkait :


Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *