Percakapan di Sebuah Kafe

sebuah percakapan di cafe

Hujan baru saja reda ketika seorang pria berpakaian serba hitam memasuki sebuah kafe di sudut kota. Langkahnya tenang, tidak tergesa, seakan dunia berjalan dalam ritmenya sendiri saat ia melangkah. Ia memilih meja di sudut ruangan, dekat jendela, di mana cahaya lampu jalan memantulkan bayangan samar di atas meja kayu yang sudah mulai usang.

Tak lama, seorang wanita masuk. Berbeda dengannya, ia mengenakan mantel kuning cerah dengan syal biru melingkar di lehernya. Matanya berkilat seperti seseorang yang baru saja melihat dunia untuk pertama kalinya. Ia tersenyum saat melihat pria itu.

“Kau datang lebih awal hari ini,” katanya, sambil melepas mantelnya dan duduk di seberangnya.

Pria itu mengangkat bahu. “Aku selalu datang tepat waktu.”

Pelayan menghampiri, mencatat pesanan. Wanita itu memesan frappuccino marshmallow dengan gula berlimpah, sementara pria itu hanya meminta kopi hitam biasa—tanpa gula, tanpa tambahan apa pun.

Sejenak mereka terdiam, menikmati suasana kafe yang dipenuhi suara pelan percakapan orang-orang, dentingan sendok di atas cangkir, dan musik jazz yang mengalun samar.

“Masih ramai seperti biasanya. Dan… Hmmmm! Aku selalu terkesan dengan menu baru di cafe ini!” mata wanita itu seolah memancarkan cahaya bintang ketika ia menyeruput frappuccino pesanannya. Sementara pria di depannya menyesap kopinya perlahan. “Aku selalu heran bagaimana kau bisa selalu menyukai menu-menu aneh disini.” 

Wanita itu pun merespon dengan wajah penuh keheranan juga. 

“Aku tidak suka mendengar kalimat itu dari orang yang hanya memesan kopi hitam di sepanjang hidupnya. Dan lagi, Mort, di setiap kafe yang aku rekomendasikan ujung-ujungnya kau hanya memesan kopi hitam tanpa gula seperti biasa. Apa kau tidak bosan?”

“Aku hanya menyukai hal yang pasti, Vita. Dan bagiku kenikmatan kopi hitam adalah sebuah kepastian yang cukup.” Mort menyeruput kopinya selagi masih panas sebelum mencerna kalimat Vita barusan.

“Sepanjang hidupnya, ya..? Sepertinya kau sudah terlalu akrab dengan bahasa manusia.”

“Dan kau selalu kaku seperti biasanya.”

“Aku memang selalu seperti ini. Lagi pula…”

Kalimat Mort terpotong oleh kehebohan dari meja lain. Di meja dekat jendela, sepasang suami istri tengah berbahagia. Sang istri, dengan mata berbinar, menggenggam tangan suaminya erat. Ia baru saja memberitahu kabar gembira—mereka akan memiliki anak. Kebahagiaan mereka begitu kentara, terpancar dari senyum yang tidak bisa mereka sembunyikan. Sang suami mendekap tangan istrinya dengan penuh haru, seakan dunia mereka kini berubah dengan satu kabar saja. 

Mort terdiam sejenak memandang adegan itu, lalu menoleh kembali ke arah Vita untuk melihat ekspresi apa yang akan Vita tunjukkan. Namun perhatian Vita jatuh ke tempat lain. Matanya menatap seorang pria muda yang tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya setelah menerima telpon. Lalu buru-buru menghabiskan sisa kopinya dan segera berlari keluar dari cafe.

Wanita itu terdiam. Matanya sedikit meredup, tapi kemudian ia tersenyum lagi. “Kau selalu datang pada akhirnya, ya?”

Mort terdiam sejenak, lalu menyambung kalimatnya yang terputus tadi sekaligus merespon pertanyaannya. “Keberadaanku hanyalah menjalankan tugas. Menjaga garis akhir. Tepat waktu.”

Vita itu tertawa kecil. “Bukankah lucu? Aku mengawali segalanya, lalu kau mengakhirinya. Seolah-olah kau yang selalu membereskan kekacauan ku.”

Mort sedikit menghela nafas sebelum akhirnya berkata, “Dan mereka selalu mencintaimu lebih daripada aku.”

Wanita itu tertawa kecil, jari-jarinya menggambar lingkaran kecil di tepi gelas frappuccino-nya. “Ayolah, mereka hanya belum mengenalmu dengan baik.” katanya lembut. “Mereka hanya takut padamu.”

“Yah aku juga tidak peduli. Dari awal memang aku tidak pernah datang dengan niat buruk,” pria itu berbisik. “Aku hanya memastikan bahwa semuanya memiliki akhir.”

Vita tersenyum, kali ini lebih lembut, lebih penuh pengertian. “Dan karena itulah aku membutuhkanmu. Dan lagi, kalimatmu barusan juga kurang pas. Kau pun tahu banyak juga dari mereka yang membenciku. Lebih banyak daripada yang takut padamu mungkin.”

Mort menatapnya sejenak. Lalu menyeruput kembali kopinya. Suasana hening sesaat, tapi lalu mereka kembali melanjutkan percakapan mereka. Cukup lama sampai cafe itu hendak tutup, seperti yang biasa mereka lakukan.

Tak lama pelayan datang, membawa tagihan. Wanita itu merogoh sakunya, tapi pria itu menggeleng. “Biar aku yang bayar. Kau yang memulai percakapan ini, aku yang mengakhirinya.”

Wanita itu tertawa pelan, “Hanya karena kita membahas topik ini kau tidak perlu menyangkutkannya dengan perihal membayar, kan?” Sambil menggelengkan kepala, Vita bangkit dan memakai mantelnya kembali. “Sampai jumpa lagi?”

Pria itu mengangguk pelan. “Seperti biasa.”

Wanita itu berjalan keluar, rintik hujan menyentuh pundaknya, tapi ia tidak mempermasalahkannya. Ia berjalan dengan langkah ringan, seakan menuju dunia yang menunggunya dengan segala kemungkinan yang belum terjadi.

Pria itu tetap duduk di sana, menyelesaikan kopinya perlahan. Ketika ia akhirnya berdiri, hanya jejak basah di meja yang tersisa, seolah ia hanya bayangan yang singgah sejenak sebelum menghilang.

Di luar, di antara gemerlap lampu jalan dan suara hujan, Kehidupan dan Kematian kembali berjalan ke arah yang berbeda, seperti yang sudah biasa mereka lakukan.

Tagar terkait :


Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *