Untungnya aku tidak pingsan. Entah berapa kali bogem mentah mendarat di perut dan pipi kiriku. Saat kejadian hangat-hangatnya selesai dan aku bisa pulang terpincang-pincang, sekelebat pikiran melintas. Aku menyalahi aturan sendiri. Tidak ada kontak langsung dengan pembeli, pembayaran selalu lewat rekening bersama. Semua terabaikan lantaran bayaran yang lebih lumayan.
Sepanjang perjalanan pulang, bus antar kota yang aku tumpangi penuh sesak. Melepas seragam sekolah, kaos oblong celana hitam, selayaknya penumpang umum non-pelajar. Ongkosnya lebih mahal, uang kumal ada sedikit bercak darah diterima kondektur dengan tatapan curiga. Masa bodoh. Empat puluh menit di dalam kendaraan pengap itu rasanya seperti seumur hidup. Gedung dan bangunan yang terlewat, berganti bayangan wajahku sendiri di kaca. Menyedihkan. Bekas hantam tadi mulai bengkak. Bentukku sudah seperti bocah yang enggan mengunyah makanannya.
Siapa juga yang tahu kalau video itu isinya pacarmu, bangsat! Salah satu dari sekian banyak umpatan yang kembali muncul. Masih geram dan sesekali mengerang nyeri, aku menyesal karena menuruti permintaan dari monyet-monyet pemalas itu. Inikah isyarat supaya aku berhenti? Memikirkannya membuatku teringat ratusan keping DVD kosong yang baru saja kubeli, belum lagi puluhan harddisk berisi AV(adult video) yang belum lama ini berisi stok terbaru. Ibu-ibu sebelahku yang dari tadi mengoceh dengan kawannya, menggosok-gosokkan minyak angin menggunakan ujung telunjuk ke hidungnya sampai terdengar suara aneh. Aku mengernyit kuat-kuat, semakin muak.
Penjualan AV belakangan ini kurang menguntungkan. Jarang-jarang aku menerima permintaan khusus dan spesifik seperti kemarin, tapi apa boleh buat. Handphone Android yang mulai ramai, memberikan rasa ‘ketinggalan’ pada handphone Nokia yang tidak kunjung berhenti deringnya. Berisik! kemudian aku merogoh saku celana, melihat siapa yang sedari tadi meneleponku tanpa henti. Beberapa SMS berisi ancaman, sekaligus ancaman, dan belasan panggilan tidak terjawab. Ya, apalagi yang bisa didapat pembajak video porno, kalau bukan uang kumal dan situasi semacam ini.
Beberapa hari lewat dengan berat. Aset yang cukup membuatku kenyang belakangan ini harus aku jual murah. Sudah kejadian ketiga atau empat, aku kena hajar gara-gara kategori yang sama. Amateur. Aku tersenyum pahit menatap gumpalan awan di atas penangkal petir. Barangkali hujan dan badai peralihan musim kali ini, tidak cukup kuat untuk menyapu bobroknya fakta yang diabaikan.
Sontak kaki kiriku yang mulai memanjat tangga bus berhenti. Lamunan singkatku disadarkan kernet bus yang mendorongku kuat-kuat dengan marah, karena aku menghalangi jalan. Sejenak setelah duduk, dan bayangan wajahku yang tampak muram kembali muncul, aku tersadar sesuatu. Tidak sekali dua kali aku kena pukul. Kasusnya sama. Percikan api muncul dalam kepalaku, bukankah ada sesuatu yang tidak beres? Kupandangi lekat-lekat pantulan bola mataku di kaca bus, seperti memperoleh persetujuan, aku mengirim SMS ke kontakku. “Sortir dan simpan baik-baik semua kategori amatir dalam negeri.” Permintaan setengah perintah itu membuahkan hasil esok harinya.
Puluhan! Lakon-lakonnya juga tidak jauh belia dariku. Kawanku si Pengepul geleng-geleng atas permintaan merepotkan itu, lebih geleng-geleng dan menepuk-nepuk dahinya, lantaran apa yang baru saja kami temukan. “Mau diapakan?” Tanya Pengepul memperlihatkan gigi kuningnya yang bersinar saat tersenyum lebar, kumis tipisnya tertutup busa bir yang baru saja ditenggak kuat-kuat. “Bisa cari tahu siapa saja mereka?” Tanyaku menunjuk-nunjuk monitor dan membuka satu persatu video, mencoba mengamati wajah-wajah lugu itu. “Mau kamu apakan lagi mereka?”, lagi? Aku kebingungan dengan pertanyaannya.
Pengepul menceritakan dengan riang dan tanpa beban, bahwa apa yang diperolehnya merupakan ‘servis ekstra’. Tentu saja ini membuatku kaget berat. Secara independen, pemudi-pemudi ini berinisiatif mengabadikan kegiatan yang bisa jadi cinderamata para pelanggannya. Pertanyaan ‘Kenapa’ menjadi tidak ada artinya, karena mereka berangkat dari latar belakang keluarga yang beragam. Tidak melulu kekurangan uang. Tidak melulu dari keluarga yang retak matrimoninya. Kata Pengepul “Kalau memang mau, ingin, dapat untung pula! Mau apa?” Aku tersandar di dinding, memijat-mijat alisku.
Berkat kebaikan hati Pengepul, aku disambungkan dengan beberapa pribadi yang memungkinkan untuk dipertemukan denganku. “Aku cuma mau ngobrol, tempat dan waktu terserah mereka.” Kawanku mengangguk-angguk dan tersenyum, menjengkelkan. Aku datang sesuai janji kemudian. Tempat yang disediakan Pengepul adalah studio belakang rumahnya, karena aku adalah kenalan baiknya, dia bersedia menyediakan tempat privat yang aman, toh kami juga cuma mau ngoceh.
Sesaat setelah masuk, sepasang tripod dengan kamera digital sudah bertengger. Dengan sigap pemudi dihadapanku ini melepas kancing baju seragamnya, yang jelas langsung kuhentikan. “Saya mau mencatat saja.” Aku mengangguk, perlahan dan mengangkat kertas HVS yang sudah aku jilid seukuran A5. Dia mengangguk saja dan duduk dengan bingung.
Begini ya, rasanya punya pasangan perhatian dan hangat. Lembaran-lembaran catatanku jadi tidak ada artinya. Aku lebih berterima kasih lagi, karena dia tidak menarik ongkos serupiahpun. Dia senang karena ada orang yang mau mendengarkan ceritanya dengan antusias. Gadis yang genap tujuh belas tahun beberapa bulan lalu, mengatakan kalau cukup gembira karena bisa belanja menggunakan uangnya sendiri. Keluarganya? Harmonis. Tidak ada sedikitpun kekerasan fisik dan mental. Perekonomian juga tercukupi. Dia menunjukkan foto pada surat izin mengemudinya, yang menurutnya diambil dengan buru-buru, jadi tidak sempat menyisir rambut dengan benar.
Kegiatanku ini berlangsung beberapa kali, dengan hasil yang kurang lebih membuatku terus menerus tidak berhenti keheranan. Malam hari di sesi terakhir perbincangan dengan para bidadari itu, aku menyandarkan punggung di dinding teras rumah Pengepul. Menghisap rokok dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Pengepul datang kemudian, membawa dua cangkir kopi. Mengangkat dagu dan alis bersamaan. Aku menggeleng, menyahut cangkir kopi di tangan kirinya, menyesapnya pelan-pelan. “Sengaja?” Tanyaku memecah keheningan. Pengepul tertawa, menyanggah “apa untungnya?” Kemudian “kau juga biar tahu sendiri.”
Malam itu aku menumpang di rumah pengepul, kami bercerita panjang lebar. Meskipun tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatanku belakangan, tetap ada yang mengganjal dibenakku. Menjelang tengah malam, aku menelpon satu persatu, setelah mengucap beberapa kalimat maaf karena mengganggu malam-malam. Aku juga meminta izin, jika suatu saat, cerita-ceritaku dengan mereka ingin aku abadikan dalam bentuk tulisan. Jaminan bahwa siapa, kapan, dan dimana adalah kerahasiaan mutlak, mereka setuju. Aku menyambung dengan mengirim SMS berisi pernyataan sederhana. Singkatnya, aku menghormati mereka semua, profesi tetaplah profesi. Aku benar-benar mengabaikan apa itu profesi terhormat.
Pengepul secara tidak langsung memfasilitasi nerd sepertiku untuk melihat sesuatu dengan- ‘agak’ berbeda. Sesi-sesi singkat yang aku lakukan, membuatku terus terbayang-bayang, jika seorang individu meletakkan sejenak ‘apa yang menjadi pekerjaanku’, bukankah yang tersisa adalah dirinya sendiri, apa adanya, sama lemah dan rapuhnya dengan individu lain?
Tanggal tepat aku berusia tujuh belas tahun, bersamaan dengan diambilnya fotoku untuk surat izin mengemudi. Saat melenggang menuju parkiran, dan mengamati fotoku baik-baik. Aku tertawa cukup kencang, benar! Fotonya diambil dengan terburu-buru. Aku jadi tidak sempat menyisir rambut dengan benar. Menghela nafas sejenak, mengenakan helm, dan mengangkat alis. Lima tahun lagi, mungkin… Coba aku ajak perpanjang SIM bersama.

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply