Sepatu yang kujahit, karena aku menyayanginya. Memandangi sepatu Converse hitam lusuh, dua garis jahitan melingkar menjadikannya mirip frankenstein, pikirku. Cukup mengejutkan, sepasang kanvas kumal ini bisa bertahan satu dekade. Mengingat pengalamanku dengan kebendaan yang digunakan sebagai sarana formalitas, atau sekedar gaya ini, seringkali lumat hanya dalam hitungan satu atau dua tahun. Abaikan warnanya yang—lebih mirip tembaga teroksidasi, dan beberapa bekas gigitan kucing pada bagian toe cap-nya, tali yang kesekian kali putus layaknya asmara pemiliknya yang belum kunjung mulus.
Bersamaan dengan dompet yang tercekik kebutuhan primer, sekunder, dan—tagihan tentu saja. Sepasang kantong kaki yang mampu berpijak untuk segala keperluan, adalah solusi ditengah kemelaratan, yang secara aktif membentuk perilaku unik. Sampai saat ini, aku melihat perilaku yang tidak peduli akan trend, atau lebih tepatnya ‘fokus pada kebutuhan, berdasarkan fungsi’ merupakan hal tidak lazim, bahkan aneh bagi sebagian orang(yang aku ketahui). Jadi, kebendaan yang menemani keseharian, dirawat, dan “dipertahankan” sampai sekarat, bagiku adalah keunikan, bahkan romantisme yang membuatku berpikir pasti ada cerita panjang bersamanya.
Sejujurnya terdapat rasa kasihan yang teramat besar pada diriku dimasa kanak-kanak. Memilih mainan yang menjadi bonus, ketimbang sepatu itu sendiri. Tetapi, semua benar-benar berbeda, ketika aku yang secara langsung menghadap kasir, menghitung satu persatu rupiah yang terkumpul untuk ditukar dengan, sepatu. Tergelak dalam tawa pahit, mengingat apapun yang disiarkan televisi, koran, radio, dan media lain, adalah gelombang kemajuan zaman yang harus diikuti.
Bongkahan-bongkahan ingatan, yang menimpaku saat menulis artikel ini jelas menggilas dan meninggalkan perasaan yang beragam, malu terutama. Jujur kepada diri sendiri, kenapa tidak? Sebab itulah yang terjadi, semua fakta dan pengambilan keputusan konyol-nya, tidak perlu ditepis, pikirku. Hasil perjalanan lintas lini masa tersebut, membuatku berpikir jika aku mampu dan tidak ada batasan sumber daya, apa yang akan kubelanjakan ya? Seperlunya.
Melakukan pembaharuan kebendaan, apalagi mengikuti trend bukanlah gayaku. Bukan karena melarat yang menjadi sebab, tapi kemelaratan itu yang menjadi titik tolak. Melihat fungsional secara khusus, dan selera kemudian. Oh… jika tadi aku bilang warna sepatuku memudar, untuk membuatnya hitam kembali tidaklah sulit. Cukup “disepuh” dengan pewarna tekstil, atau sekedar dengan semir, dia akan kembali tampil moi.
Leave a Reply