Cinta. Kata yang sering bikin orang baper, bingung, bahkan overthinking. Tapi, pernahkah kamu berpikir: apa sebenarnya cinta itu? Untuk kebanyakan orang, cinta adalah soal pengorbanan, kebahagiaan, dan segalanya yang terasa… indah. Namun, kalau kita bertanya pada Friedrich Nietzsche, jawabannya mungkin bakal bikin kita mikir ulang.
Nietzsche, seorang filosof Jerman yang sering disebut “bapak nihilis” (meskipun sebenarnya agak rumit kalau mau disebut begitu), punya pandangan yang agak berbeda soal cinta. Menurut dia, cinta itu nggak melulu soal hal-hal manis. Di balik kata “Aku cinta kamu,” ada sesuatu yang lebih mendalam—dan, ya, sedikit gelap.
Cinta Menurut Nietzsche: Antara Dominasi dan Keindahan
Bagi Nietzsche, cinta adalah ekspresi dari “kehendak untuk berkuasa” (will to power), konsep inti dari filsafatnya. Di balik romantisme, kata-kata manis, dan janji-janji bahagia selamanya, ada dorongan manusia untuk “memiliki” atau bahkan “mengendalikan” orang lain.
Contoh sederhana: Saat kita bilang, “Aku cinta kamu,” sebenarnya ada keinginan egois yang tersembunyi—kita ingin orang itu menjadi milik kita, menjadi bagian dari dunia kita. Nietzsche nggak bilang ini buruk; dia justru mendorong kita untuk jujur sama diri sendiri tentang kompleksitas cinta ini.
Bahkan, dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menulis:
“Cinta selalu melampaui dirinya sendiri, karena itu ia menghancurkan dan menciptakan.”
Artinya, cinta itu bukan sekadar perasaan manis. Ia bisa membangun hubungan, tapi juga bisa menghancurkannya jika tidak ada kejujuran tentang sifat dasar manusia.
Romantis? Mungkin. Ilusi? Juga Mungkin.
Nietzsche juga memandang cinta romantis sebagai sesuatu yang indah, tapi sering kali penuh ilusi. Menurut dia, masyarakat terlalu sering mengidealkan cinta sebagai sesuatu yang murni dan sempurna. Padahal, cinta itu—seperti manusia sendiri—punya sisi gelap.
Nietzsche bahkan memperkenalkan konsep “cinta pada jarak” (love at a distance). Baginya, hubungan yang sehat adalah hubungan yang menghargai independensi masing-masing pasangan. Alih-alih saling melekat seperti perangko, cinta yang sejati adalah cinta yang memberi ruang untuk keunikan dan pertumbuhan pribadi. Jadi, kalau pasanganmu nggak suka diajak maraton Netflix, mungkin itu bukan masalah besar. Itu adalah tanda bahwa kalian tetap bisa menghargai keunikan masing-masing.
Amor Fati: Cinta pada Takdir
Di luar cinta romantis, Nietzsche juga punya konsep yang lebih mendalam: amor fati atau cinta pada takdir. Ini bukan soal cinta pada seseorang, tapi cinta pada hidup dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Nietzsche mengajarkan kita untuk menerima semua bagian hidup—yang baik, yang buruk, bahkan yang menyakitkan—dengan cinta. Sebab, hidup itu bukan soal menghindari kesulitan, tapi soal bagaimana kita mencintai seluruh prosesnya.
Kutipannya yang terkenal:
“Aku tidak ingin apa pun berbeda, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di sepanjang kekekalan. Bukan hanya menerima apa yang terjadi, tapi mencintainya.”
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Nietzsche tentang Cinta?
Pandangan Nietzsche tentang cinta mengajarkan kita untuk lebih dewasa dalam menjalin hubungan. Berikut beberapa poin yang bisa kita ambil:
- Jujur pada Diri Sendiri: Jangan terjebak dalam ekspektasi romantis yang berlebihan. Cinta itu kompleks, dan tidak ada yang salah dengan mengakui adanya unsur ego di dalamnya.
- Hargai Keunikan Pasangan: Jangan jadikan cinta sebagai alasan untuk menghilangkan identitas pasanganmu. Sebaliknya, dukung mereka untuk tetap menjadi diri sendiri.
- Cintai Hidup, Bukan Hanya Orang: Cinta romantis itu penting, tapi jangan lupa untuk mencintai hidupmu sendiri. Dengan mencintai takdir (amor fati), kita belajar menerima segalanya dengan lapang dada.
Cinta yang Kompleks, tapi Jujur
Bagi Nietzsche, cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar rasa sayang atau romantisme belaka. Ia adalah ekspresi dari kehendak manusia, lengkap dengan segala keindahan dan keegoisannya. Nietzsche tidak mengajarkan kita untuk membenci cinta, tapi justru untuk memahaminya dengan jujur.
Jadi, kalau kamu sedang jatuh cinta, mungkin ini waktunya untuk bertanya: Apakah aku mencintai dengan jujur? Dan, apakah aku juga mencintai hidupku sendiri? Seperti yang Nietzsche bilang, “Cinta selalu melampaui dirinya sendiri.” Mungkin, cinta sejati adalah cinta yang melampaui ego kita.
Leave a Reply