Moral VS Tuhan

moral dalam eksistensialis

Kamu pernah bertanya-tanya, apakah manusia jadi bermoral karena mengenal Tuhan? Atau justru manusia mengenal Tuhan karena punya kesadaran moral? Ini seperti pertanyaan klasik telur dan ayam versi spiritual. Menarik, kan? Yuk kita bahas secara ringan tapi mendalam dengan gaya “ngulik enak biasa”.

‍Euthyphro Dilemma

Pertanyaan ini sebenarnya punya akar dalam sejarah filsafat kuno. Sokrates pernah tanya ke Euthyphro:

Apakah sesuatu itu baik karena diperintahkan oleh dewa, atau dewa memerintah karena itu baik?

Pertanyaan ini mengupas apakah moralitas bersumber dari Tuhan, atau Tuhan hanya menyetujui sesuatu yang memang sudah dianggap baik secara moral. Bingung? Tenang, kita breakdown pelan-pelan.

Manusia Bisa Bermoral Tanpa Mengenal Tuhan

Jawabannya: bisa banget.

Filsuf seperti Immanuel Kant menjelaskan bahwa manusia memiliki “hati nurani” atau kesadaran moral yang bersifat universal. Dalam dirinya, manusia tahu bahwa bohong itu salah dan jujur itu benar—meskipun dia belum pernah belajar agama.

Emmanuel Levinas menambahkan bahwa moralitas muncul saat manusia “menyadari kehadiran orang lain” dan merasa bertanggung jawab. Ini artinya, moralitas bukan monopoli agama. Seorang ateis bisa berperilaku jujur dan adil karena kesadaran dirinya, bukan karena takut dosa.

Tapi Bukankah Konsep Tuhan Dikenal Lewat Agama?

Betul. Kita mengenal Tuhan sebagai konsep melalui cerita, simbol, dan ajaran agama. Tapi pertanyaannya sekarang: apakah mengenal konsep Tuhan itu sama dengan mengenal Tuhan secara eksistensial?

Kita masuk ke pembahasan serius.

Tahapan Hidup Menurut Kierkegaard

Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis, punya pendekatan menarik. Ia membagi tahapan kehidupan manusia jadi tiga:

  1. Tahap Estetis (Kesenangan) Di tahap ini, orang hidup demi kesenangan dan kenyamanan pribadi. Hubungan dengan Tuhan (kalau ada) hanya bersifat formalitas, atau demi keuntungan tertentu—berdoa supaya kaya, supaya jodoh, supaya aman.
  2. Tahap Etis (Moral) Manusia di tahap ini sadar bahwa hidup butuh tanggung jawab dan moral. Ia mulai menjalani hidup dengan nilai-nilai baik, berlaku adil, jujur, dan bertanggung jawab—entah dia percaya Tuhan atau tidak. Banyak orang berhenti di tahap ini, termasuk orang yang aktif beragama.
  3. Tahap Religius (Eksistensial) Nah, ini yang unik. Di tahap ini, manusia tak lagi sekadar berbuat baik karena aturan. Ia punya relasi langsung dan otentik dengan Tuhan. Ia mencintai Tuhan, bahkan jika hidupnya tidak diberkahi, bahkan jika segala aturan moral tidak berpihak padanya.

Contoh: Kisah Abraham

Kierkegaard kasih contoh Abraham yang diminta mengorbankan anaknya.

  • Orang estetis (tahap 1) akan bilang: “Gila, ini nggak nyaman. Saya nggak mau.”
  • Orang etis (tahap 2) akan bilang: “Gila, ini tidak bermoral. Masa mau bunuh anak sendiri?”
  • Tapi Abraham, yang hidup di tahap 3, taat bukan karena logika, tapi karena iman dan relasi personal dengan Tuhan. Bukan karena aturan, bukan karena untung-rugi.

Relasi dengan Tuhan Bukan Sekadar Moralitas

Banyak orang yang “beragama” sebetulnya belum tentu punya relasi personal dengan Tuhan. Mereka mungkin rajin ibadah, mengikuti norma, dan berbuat baik—tapi semua itu masih di tahap etis.

Sementara seseorang bisa benar-benar “beriman” justru ketika dia menjalani hubungan yang mendalam, bahkan kalau hidupnya lagi kacau dan tidak ada manfaat praktis dari kepercayaannya.

Jadi, Mana yang Lebih Dulu: Moral atau Tuhan?

Jawabannya tidak segampang memilih telur atau ayam.

Moralitas bisa hadir tanpa mengenal Tuhan. Dan sebaliknya, mengenal Tuhan secara konsep belum tentu membawa seseorang ke tahap relasi yang eksistensial.

Tetapi…

  • Seseorang yang punya relasi eksistensial dengan Tuhan, hampir pasti akan bersikap bermoral.
  • Tapi seseorang yang bermoral, belum tentu punya relasi spiritual yang otentik.

Kesimpulan: Relasi, Bukan Sekadar Aturan

Kamu bisa hidup bermoral tanpa agama.

Kamu bisa hidup beragama tanpa relasi dengan Tuhan.

Tapi mengenal Tuhan secara eksistensial—secara utuh dan personal—akan membentukmu jadi manusia yang tidak cuma “taat” karena takut dosa, tapi taat karena cinta.

Dan di situlah, hidup mulai punya makna lebih dari sekadar “baik atau buruk”—tapi tentang siapa kamu sebenarnya, dan kepada siapa kamu benar-benar terikat.

Kamu di tahap yang mana sekarang?

Estetis? Etis? Atau sudah mulai melangkah ke tahap religius-eksistensial?

Yuk pikirin bareng. Karena mungkin, itu juga pertanyaan yang sudah lama ingin kamu tanyakan ke dirimu sendiri.

Tagar terkait :


Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *