Ketika Will to Power Ngegas, tapi Stoa Malah Disuruh Ngerem
Bayangin ada seorang pria Jerman dengan kumis tebal, duduk di pojok kafe sambil ngetawain buku Meditations-nya Marcus Aurelius. Begitulah kira-kira kalau kamu tanya Friedrich Nietzsche tentang Stoicism—dia bakalan lempar buku itu ke tembok sambil bilang, “Kaum Stoa? Ah, itu cuma para penggemar pasrah yang nyoba kelihatan bijak.”
Lucunya, baik Nietzsche maupun para filsuf Stoa sebenarnya sama-sama peduli soal bagaimana manusia menghadapi penderitaan hidup. Tapi bedanya, kalau Stoicism ngajarin kamu buat nerima nasib dengan tenang, beliau justru ngajak kamu buat ngamuk produktif, menciptakan makna dan nilai hidupmu sendiri. Kayak anak punk yang nongkrong bareng biksu—satu teriak, satu meditasi.
Stoicism: Filosofi Tenang Saat Dunia Meledak
Para Stoa seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius percaya satu hal penting: kamu nggak bisa mengontrol apa yang terjadi padamu, tapi kamu bisa mengontrol reaksimu. Dunia bisa kacau, cuaca bisa jelek, mantan bisa nikah duluan—tapi kamu tetap bisa memilih untuk nggak drama.
Stoicism bilang, “Ikuti alam. Terimalah kenyataan. Fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan.” Sebuah filosofi yang elegan, penuh ketenangan, dan cocok buat kamu yang suka bilang, “Ya udahlah, jalanin aja.”
Filosofi Liar dengan Kumis Filosofis
Lain halnya dengan Nietzsche. Dia kayak orang yang datang ke seminar Stoicism, terus langsung naik ke panggung dan ngegas, “Ngaco! Hidup itu bukan buat diterima, tapi buat ditaklukkan!”
Nietzsche memperkenalkan konsep will to power—kehendak untuk berkuasa. Tapi jangan salah paham, ini bukan soal jadi diktator. Yang dimaksud Nietzsche adalah dorongan untuk tumbuh, mencipta, mengatasi batas, dan menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Menurut dia, hidup itu bukan soal duduk diam sambil merelakan takdir, tapi soal menciptakan takdirmu sendiri.
Kritik Pedas Nietzsche ke Stoicism
Dalam bukunya Beyond Good and Evil, Nietzsche nulis begini:
“Kamu ingin hidup ‘sesuai dengan alam’? Omong kosong! Alam itu boros, kejam, dan acuh tak acuh!”
Buat Nietzsche, mengikuti alam bukanlah kebijaksanaan—itu justru bentuk pengerdilan. Alam nggak peduli sama kamu, kenapa kamu malah pengen nyamain diri dengan sesuatu yang acak dan tanpa tujuan?
Nietzsche melihat Stoicism sebagai filosofi yang meredam api kehidupan. Stoik bilang “kendalikan dirimu”, Nietzsche malah bilang “lepaskan potensimu!”
Dia percaya bahwa emosi, nafsu, dan penderitaan bukan hal yang harus ditekan, tapi justru bahan bakar untuk berkembang. Dalam pandangannya, para Stoa itu kayak orang yang pura-pura nggak lapar, padahal perut keroncongan.
Amor Fati: Serupa Tapi Tak Sama
Nah, ada satu istilah dari Nietzsche yang sering bikin orang bingung: amor fati—mencintai takdir. Sekilas, ini terdengar Stoik banget. Tapi jangan tertipu.
- Stoicism: “Terimalah nasibmu karena kamu nggak bisa mengubahnya.”
- Nietzsche: “Cintailah nasibmu, lalu pakai itu buat tumbuh, berevolusi, dan menciptakan nilai baru.”
Dengan kata lain, Stoicism ngajarin kamu buat duduk tenang di perahu saat badai datang. Nietzsche malah ngajak kamu bangun perahu sendiri, lalu balapan sama badai.
Moralitas Budak vs Kehendak Berdaulat
Salah satu tuduhan paling serius Nietzsche terhadap Stoicism adalah bahwa itu bagian dari apa yang dia sebut “moralitas budak.” Menurutnya, filosofi semacam ini lahir dari ketidakberdayaan—orang-orang yang nggak bisa mengubah dunia akhirnya menciptakan sistem nilai yang memuliakan kepasrahan.
Nietzsche ingin kamu jadi Übermensch—manusia unggul—yang berani mencipta, bukan sekadar menerima. Dia percaya, penderitaan itu bukan sesuatu yang harus dihindari, tapi dilalui dan dimenangkan.
“Apa yang tidak membunuhku, membuatku lebih kuat.” – Nietzsche
(Kaum Stoa mungkin bakal bilang: “Yang penting itu nggak menggoyahkan kebajikanku, bro.”)
Kesimpulan: Siapa yang Benar?
Keduanya benar… tergantung kamu siapa.
Kalau kamu lagi pengen tenang, ngopi sambil merenung, Stoicism bisa jadi teman yang menyejukkan. Tapi kalau kamu lagi galau eksistensial dan butuh cambukan buat berubah, Nietzsche siap ngajak kamu teriak di tengah malam.
Jadi, kenapa Nietzsche nggak setuju sama Stoicism?
Karena buat dia, Stoicism itu terlalu kalem, terlalu pasrah, terlalu kompromis. Dia pengen kamu bangkit, bertindak, dan menaklukkan dunia—bukan cuma menerima bahwa dunia emang begitu adanya.
Dan kalau kamu ketemu Nietzsche di jalan, saran saya: jangan ajak dia bahas Marcus Aurelius. Bisa-bisa bukunya dilempar ke arahmu, terus kamu malah dikuliahi tentang will to power selama tiga jam nonstop.

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply