Manusia itu unik, lho. Di balik segala keindahan, kecerdasan, dan pencapaian besar yang kita raih, ada satu hal yang selalu menghantui—kesadaran akan ketiadaan. Secara sederhana, setiap kali saya berhenti sejenak untuk merenung, saya teringat betapa absurdnya hidup ini. Seolah-olah, kita diciptakan dengan “software” kesadaran yang selalu menyala dan terus-menerus mengajukan pertanyaan tanpa henti, seperti “Apa arti semua ini?” atau “Kenapa harus ada kekosongan di antara kita?”
Kesadaran: Berkat dan Beban
Sejak kita lahir, otak kita sudah diprogram untuk terus bertanya. Kita dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang luar biasa. Filosof besar seperti Jean-Paul Sartre pernah mengatakan, “Manusia dikutuk untuk bebas.” Kebebasan itu berarti kita punya pilihan—namun juga berarti kita harus selalu mempertanggungjawabkan setiap keputusan. Dan di situlah letak paradoksnya: semakin tinggi tingkat kesadaran kita, semakin besar pula beban pertanyaan yang harus kita jawab.
Bayangkan, seperti lampu yang terus menyala meskipun sudah larut malam. Terkadang, saya merasa seolah-olah saya sedang dipaksa untuk terus menyala—menjawab pertanyaan demi pertanyaan, meski sebenarnya saya cuma pengen tidur. Mungkin itulah yang disebut oleh banyak orang sebagai “eksistensial angst.” Kita sadar bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian dan ketiadaan kepastian mutlak, dan justru kesadaran itulah yang membuat kita terus bertanya.
Mengapa Kita Terus Bertanya?
Menurut saya, ada dua alasan utama mengapa kesadaran itu “mengutuk” kita untuk terus bertanya:
- Takut Akan Ketiadaan: Kita tahu, pada akhirnya, segala sesuatu itu akan hilang. Alam semesta ini tidak memberi jaminan bahwa makna yang kita ciptakan hari ini akan bertahan selamanya. Rasa takut ini muncul dari kesadaran bahwa, meskipun kita berusaha keras, pada akhirnya segala hal hanyalah proses yang sementara. Seperti seseorang yang berlari mengejar bayangannya sendiri, kita selalu merasa belum cukup, karena ada kekosongan yang tak bisa kita penuhi.
- Kecenderungan untuk Mencari Makna: Manusia tidak pernah puas hanya dengan “ada saja.” Kita ingin tahu alasan di balik keberadaan kita. Filosof seperti Albert Camus dan Friedrich Nietzsche pernah menggambarkan bahwa pencarian makna adalah salah satu motivasi paling dasar dalam hidup—meskipun seringkali pencarian itu malah membawa kita ke dalam jurang keputusasaan. Mungkin, ironisnya, semakin kita berusaha mencari makna, semakin kita menyadari betapa terbatasnya pemahaman kita.
Ketika Pertanyaan Tak Pernah Berakhir
Pernahkah kamu merasa seperti berada di dalam labirin pertanyaan yang tak berujung? Saat kamu mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba muncul pertanyaan baru yang membuatmu semakin bingung. Inilah “kutukan” dari kesadaran. Setiap jawaban yang kita temukan justru membuka pintu bagi pertanyaan yang lebih dalam.
Sebagai contoh, dalam ilmu pengetahuan, ketika kita mulai memahami hukum-hukum alam, selalu ada misteri baru yang menunggu untuk dipecahkan. Begitu pula dengan kehidupan—setiap kali saya mencoba memahami makna hidup, saya justru disuguhi oleh pertanyaan yang membuat saya bertanya-tanya: “Apakah kebahagiaan itu nyata atau hanya ilusi?”
Hal ini sepertinya mirip dengan konsep “infinite regress” dalam filsafat, di mana setiap penjelasan selalu membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Mungkin itulah yang membuat saya merasa, kadang-kadang, bahwa eksistensi itu sendiri adalah teka-teki yang belum tentu bisa dipecahkan.
Menerima Ketidaksempurnaan
Lalu, bagaimana seharusnya kita menghadapi kenyataan bahwa kita tidak akan pernah bisa memahami segala sesuatunya dengan sempurna? Mungkin, kuncinya ada pada penerimaan—menerima bahwa hidup ini memang absurd, dan bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari keindahan eksistensial kita.
Saya percaya, daripada terus-menerus bergumul dengan pertanyaan yang tak terjawab, kita harus belajar untuk menikmati proses pencarian itu sendiri. Sama seperti kita menikmati perjalanan panjang meski tujuannya belum pasti, mungkin kita juga harus belajar menemukan kebahagiaan dalam setiap pertanyaan, bukan hanya pada jawabannya.
Sebuah Pilihan untuk Mengubah Perspektif
Di sinilah saya mengajak pembaca untuk mengambil langkah kecil: ketika rasa penasaran dan kecemasan mulai mengambil alih, cobalah untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya saya cari?” Mungkin, dengan mengubah cara kita memandang pertanyaan—dari beban menjadi kesempatan—kita bisa mereduksi “kutukan” kesadaran yang membuat kita selalu bertanya.
Misalnya, saat saya merasa tertekan oleh pertanyaan yang terus menghantui, saya mencoba untuk mengubah fokus saya. Alih-alih memusingkan diri dengan “apa makna hidup ini?”, saya mulai bertanya, “Bagaimana saya bisa membuat hidup ini sedikit lebih bermakna hari ini?” Dengan begitu, setiap hari menjadi sebuah proyek kecil untuk menciptakan makna, meski dalam keterbatasan.
Kesimpulan: Hidup sebagai Proses Pencarian
Pada akhirnya, saya percaya bahwa kehidupan adalah sebuah proses pencarian makna yang tidak pernah selesai. Meskipun kita tidak akan pernah bisa memahami segala sesuatunya secara utuh, itu tidak membuat upaya kita sia-sia. Justru, dalam pencarian itu, kita menemukan kekuatan untuk terus bergerak, untuk tumbuh, dan untuk menciptakan kebahagiaan meskipun dalam ketidakpastian.
Jadi, apakah kesadaran mengutuk kita untuk terus bertanya? Mungkin iya, tapi saya memilih untuk melihatnya sebagai anugerah—sebuah kesempatan untuk terus belajar, merasakan, dan mengubah hidup ini menjadi sesuatu yang, meskipun tidak sempurna, tetap berarti.

Bekerja untuk Keabadian Orbiz, anaknya Ngulik Enak, Cucunya Kopitasi, dan semua keturunannya kelak.
Leave a Reply