Perjalanan Epik Dua Kyai Banten ke Inggris: Diplomasi dengan Lada dan Sorban

Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana

Ketika Nusantara Berlayar ke Dunia Barat

Bayangkan diri Anda hidup di abad ke-17, ketika kapal layar adalah satu-satunya kendaraan antar benua, dan diplomasi dijalankan dengan membawa hadiah berupa rempah dan perhiasan. Di tengah hiruk-pikuk Kesultanan Banten yang berlimpah lada, dua utusan istimewa, Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana, dipilih untuk menjalankan misi besar: berlayar ke Inggris.

Apakah ini kunjungan biasa? Tentu saja tidak! Ini adalah drama diplomasi tingkat tinggi, di mana dua duta besar Banten dengan 31 orang rombongan, membawa 200 karung lada, emas, dan perhiasan ke Tanah Britania. Mari kita menyelami kisah mereka.

Perjalanan Lima Bulan Menuju Inggris

Kapal mereka, New London, adalah milik East India Company, perusahaan dagang terbesar di masanya. Pelayaran dimulai pada 10 November 1681, melintasi samudra selama lima bulan penuh tantangan melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan, hingga tiba di Inggris pada 27 April 1682.

Dari cerita yang tercatat, perjalanan itu bukan tanpa drama. Salah satu anggota rombongan, seorang juru masak, meninggal di tengah misi. Ia dimakamkan di Saint James Park, berseberangan dengan Hyde Park di London. Ini adalah bukti nyata bahwa diplomasi masa lalu tidak hanya soal percakapan dan hadiah, tapi juga melibatkan pengorbanan besar.

Pesona Dua Duta Banten di Inggris

Saat tiba di London, kedua kyai ini tidak sekadar datang sebagai tamu, tapi juga membawa citra eksotis Nusantara. Dengan mengenakan sorban gaya Turki dan Arab, mereka menghadiri jamuan diplomatik bersama perwakilan dari Rusia, Maroko, dan India di kediaman resmi Lord George Berkeley.

Dalam catatan John Evelyn, salah satu tokoh Inggris kala itu, para utusan Banten berhasil mencuri perhatian dengan gaya khas mereka. Bukan hanya hadiah lada dan emas yang menjadi buah bibir, tetapi juga cara mereka membawa diri di tengah kebudayaan asing.

Oh, dan satu lagi fakta menarik: salah satu kyai dikirim sebagai pengganti, berjaga-jaga jika yang utama meninggal di tengah perjalanan. Kesultanan Banten sangat paham risiko perjalanan panjang ini!

Misi Diplomasi yang Berhasil

Setelah menyelesaikan tugas mereka, rombongan Banten kembali ke Nusantara pada 5 Juli 1682 menggunakan kapal lain, Kemphorne, dari Pelabuhan Chatham. Perjalanan pulang memakan waktu lebih dari lima bulan, hingga akhirnya mereka tiba kembali di Banten pada 20 Januari 1683. Sebagai penghargaan atas misi mereka, kedua kyai dianugerahi gelar kehormatan “Sir” oleh Raja Charles II, lengkap dengan pedang kehormatan .

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Kisah dua kyai Banten ini bukan hanya tentang perjalanan fisik, tapi juga tentang keberanian dan kepercayaan diri dalam membawa identitas Nusantara ke dunia Barat. Dari lada hingga sorban, semua aspek misi mereka mencerminkan kemegahan Kesultanan Banten.

Dalam dunia modern, mungkin kita tidak lagi membawa karung lada untuk diplomasi. Tapi, semangat adaptasi, kolaborasi, dan keberanian seperti yang dilakukan para utusan Banten ini tetap relevan di era globalisasi. Jangan lupa, mereka berangkat bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tapi juga untuk menunjukkan bahwa Nusantara punya pengaruh besar di panggung dunia.

Misi diplomasi kedua kyai Banten ke Inggris adalah pengingat betapa beraninya leluhur kita dalam menghadapi dunia. Perjalanan panjang mereka membuktikan bahwa Nusantara menjadi pemain penting di arena internasional. Sebuah cerita yang, kalau diadaptasi ke layar lebar, bisa jadi film sejarah yang epik!

Sumber:

1. Perpustakaan Balai Arkeologi Jawa Barat

Hakim, Lukman. Kota Intan yang Tenggelam. Balai Pelestarian Cagar Budaya, Serang, 2013 

2. Kemdikbud – Balai Pelestarian Cagar Budaya

Referensi seputar dokumentasi buku terkait kota Banten 

Penulis

Tagar terkait :


Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *