Self-Evident: Hak Asasi Manusia

Self evident

Ketika kita berbicara tentang self-evident, kita berbicara tentang sesuatu yang berlaku universal, bahkan tanpa bukti empiris. Dalam filsafat, istilah ini mengacu pada kebenaran yang dianggap jelas dan tidak memerlukan penjelasan tambahan untuk divalidasi. Salah satu contoh paling terkenal dari konsep self-evident ini adalah Hak Asasi Manusia (HAM).

Apa Itu Self-Evident?

Aristoteles, salah satu filsuf besar Yunani kuno, menjelaskan bahwa self-evident claim adalah premis universal yang dapat ditemukan melalui observasi (a posteriori) dan logika deduktif (a priori). Dalam filsafat, premis universal ini menjadi dasar untuk menjelaskan berbagai fenomena, mulai dari dunia ide Plato hingga konsep Dao dalam filsafat Timur. Self-evident adalah “kebenaran dasar” yang menjadi landasan berpikir dan bertindak manusia.

Namun, apa saja contohnya? Salah satu contoh modern yang paling relevan adalah Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia: Self-Evident atau Konstruk Sosial?

Pasca Perang Dunia Kedua, dunia Barat mengangkat diskursus tentang HAM. Hak-hak ini diklaim sebagai sesuatu yang inheren, melekat pada setiap manusia, dan self-evident. Namun, dari perspektif realis—seperti yang sering dikritik oleh Nietzsche—HAM hanya dianggap sebagai reaksi emosional atas trauma perang. HAM, dalam pandangan ini, lebih merupakan konstruksi sosial daripada kebenaran universal.

Sebagai contoh, meskipun negara-negara Barat menciptakan berbagai dokumen HAM, seperti Universal Declaration of Human Rights pada 1948, tindakan mereka sering kali bertentangan dengan klaim tersebut. Kolonialisme, genosida, hingga penolakan terhadap pengungsi Timur Tengah menunjukkan bahwa implementasi HAM sering kali hipokrit.

Namun, pandangan ini juga tidak sepenuhnya memuaskan. Ada sesuatu dalam kesadaran manusia yang menolak gagasan bahwa HAM hanyalah konstruksi sosial. Dalam diri kita, ada semacam dorongan intuitif yang mengakui bahwa manusia berharga, bukan karena perannya dalam masyarakat atau kontribusinya, tetapi karena keberadaannya itu sendiri.

Immanuel Kant dan Premis Universal

Immanuel Kant adalah salah satu filsuf yang mencoba menjelaskan self-evident truth ini melalui pendekatan rasional. Dalam Critique of Pure Reason, Kant mengeksplorasi bagaimana kita bisa memahami kebenaran universal melalui logika. Dalam Critique of Practical Reason, dia mencoba menghubungkan kebenaran tersebut dengan tindakan moral.

Menurut Kant, Hak Asasi Manusia bukan hanya tentang apa yang kita yakini, tetapi tentang apa yang harus kita jalani. Prinsip bahwa “manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat” menjadi inti dari filsafat moralnya. Dengan kata lain, setiap manusia memiliki nilai intrinsik yang tidak bergantung pada bukti empiris.

Namun, di sinilah kritik mulai muncul. Apakah cukup hanya memahami kebenaran self-evident ini? Filsuf eksistensialis seperti Levinas dan Kierkegaard berpendapat bahwa kebenaran ini tidak cukup hanya diketahui. Kita harus menghidupinya, menjadikannya bagian dari tindakan dan relasi kita dengan sesama.

Menghidupi Self-Evident Truth

Levinas, seorang filsuf eksistensialis, mengatakan bahwa nilai manusia hanya bisa benar-benar dipahami dalam hubungan antarindividu. Kita tidak bisa hanya melihat HAM sebagai konsep teoretis yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, kita harus menjadikan HAM sebagai pedoman dalam cara kita memperlakukan orang lain.

Ini adalah pelajaran penting dalam menghadapi kritik terhadap HAM. Ketika ada yang berkata bahwa HAM hanyalah konstruksi sosial, kita bisa menunjukkan bahwa HAM adalah refleksi dari kebutuhan manusia untuk hidup dalam harmoni, menghormati satu sama lain, dan merawat dunia bersama.

Kesimpulan: Self-Evident Truth untuk Peradaban

Filsafat mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak selalu harus diuji di laboratorium untuk diakui. Ada kebenaran yang inheren, yang terasa benar meski sulit dijelaskan dengan logika biasa. Hak Asasi Manusia adalah salah satu contoh paling nyata dari self-evident truth.

Namun, filsafat juga mengingatkan kita bahwa kebenaran ini bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari tanggung jawab. Tugas kita adalah menghidupinya, menjadikannya pedoman dalam bertindak, dan memastikan bahwa konsep-konsep seperti HAM tidak hanya menjadi dokumen formal, tetapi bagian integral dari cara kita menjalani hidup.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali kata-kata dari para filsuf besar ini:

“Kebenaran yang self-evident bukanlah milik segelintir orang terpilih. Itu adalah warisan bersama umat manusia, yang menuntut kita untuk bertindak dengan adil, rendah hati, dan penuh tanggung jawab.”

Penulis

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “Self-Evident: Hak Asasi Manusia”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *