Stoikisme: Seni Hidup Santai di Dunia yang Penuh Drama

Gadis dengan Stoikismenya

Bayangkan dunia ini sebagai drama kolosal—dari macet di jalan, drama di grup WhatsApp, sampai notifikasi “read tapi nggak dibalas.” Hidup memang penuh drama, tapi bagaimana kalau saya bilang, ada filosofi kuno yang bisa bikin kita lebih santai menghadapi semuanya? Perkenalkan: Stoikisme.

Tunggu dulu. Jangan buru-buru membayangkan filsafat yang berat atau bikin kepala pusing. Stoikisme ini justru seperti “mental anti baper” versi kuno, yang intinya mengajarkan kita untuk tetap tenang menghadapi segala situasi. Mau tahu gimana caranya? Yuk, kita bahas!

Prinsip-Prinsip Utama Stoikisme

Stoikisme itu sebenarnya nggak ribet-ribet amat. Kalau dibilang serumit teori fisika, ya jelas nggak. Filosofi ini hanya menekankan tiga prinsip utama yang sederhana tapi jitu:

1. Menerima Kenyataan Apa Adanya

Hidup ini memang nggak selalu sesuai ekspektasi. Alih-alih ngamuk karena hujan turun pas mau jalan-jalan, stoikisme mengajarkan kita untuk menerima kenyataan itu sebagai bagian dari hidup. Kalau bahasa kerennya: “It is what it is.”

2. Fokus pada Hal yang Bisa Kita Kontrol

Banyak hal di dunia ini yang di luar kendali kita—cuaca, opini orang lain, atau hasil dari usaha kita. Stoikisme bilang: jangan buang energi untuk hal-hal itu. Fokus saja pada apa yang bisa kita lakukan sekarang. Misalnya, bawa payung saat mendung, bukan meratapi hujan.

3. Hidup Sesuai Nilai-Nilai Kebaikan

Apapun yang terjadi, tetaplah pegang prinsip kebaikan. Bagi para stoik seperti Marcus Aurelius, hidup itu bukan soal kaya atau miskin, tapi soal bagaimana kita menjaga integritas dan menjalani hidup yang berarti.

Stoikisme Bukan Tentang Pasrah

Sebagian orang salah kaprah dan mengira stoikisme itu semacam ajaran buat jadi “pasrah total.” Padahal, beda banget! Stoikisme bukan tentang menyerah, tapi lebih ke “bijak menyikapi.”

Marcus Aurelius, salah satu tokoh stoik terkenal, pernah bilang: “Kita tidak terganggu oleh kejadian, tapi oleh opini kita tentang kejadian itu.” Jadi, stoikisme itu tentang mengubah cara kita melihat situasi, bukan sekadar menyerah pada keadaan.

Contohnya? Kalau ada orang motong antrian di depan kita, kita bisa ngamuk-ngamuk (yang ujungnya malah bikin kita stres), atau cukup bilang, “Mungkin dia lagi buru-buru. Santai aja, toh gue masih dapet giliran.”

Penerapan Stoikisme di Kehidupan Sehari-hari

Gimana cara praktek stoikisme di dunia modern? Nih, beberapa contoh gampangnya:

1. Menghadapi Macet

Daripada kesel nggak karuan, coba lihat macet sebagai waktu tambahan buat dengerin podcast atau musik favorit.

2. Negative Visualization

Ini adalah teknik stoikisme yang ngajarin kita buat “membayangkan hal buruk” untuk lebih bersyukur. Contohnya, bayangkan kalau kamu kehilangan sesuatu yang kamu punya sekarang—dengan begitu, kamu bakal lebih menghargainya.

3. Sosial Media

Stoikisme juga bisa bantu kita buat nggak baperan di dunia maya. Misalnya, nggak usah baper kalau postingan kamu nggak dapat banyak likes. Fokus aja pada kenapa kamu posting: buat ekspresi diri, bukan buat validasi orang lain.

Stoikisme: Tenang di Tengah Dunia yang Penuh Drama

Pada akhirnya, stoikisme mengajarkan kita untuk melihat hidup dengan perspektif yang lebih tenang dan rasional. Filsafat ini bukan tentang jadi tahan banting secara fisik, tapi lebih ke soal ketahanan mental.

Jadi, kalau kamu sering merasa capek dengan drama hidup, coba deh praktikkan prinsip-prinsip stoikisme ini. Nggak perlu jadi filsuf besar, cukup mulai dari hal kecil—seperti menerima kenyataan, fokus pada apa yang bisa dikontrol, dan terus berbuat baik.

Jadi Stoik di Era Modern

Stoikisme mungkin sudah ada sejak ribuan tahun lalu, tapi pelajarannya tetap relevan sampai sekarang. Ini bukan filsafat buat dipandang remeh, juga bukan konsep yang sulit dimengerti. Stoikisme itu seperti seni hidup santai: kita tetap tenang di tengah dunia yang penuh drama.

Jadi, siapkah kamu mencoba hidup ala stoik? Mulailah dengan langkah kecil, seperti membaca salah satu buku Marcus Aurelius atau cukup berkata, “Santai, gue bisa kontrol diri sendiri.” Karena pada akhirnya, hidup itu lebih tentang bagaimana kita merespons, bukan apa yang terjadi.

Penulis

Tagar terkait :


Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *