Franz Kafka: Hidup yang Kelam, Karya yang Gemilang

Franz Kafka

Kalau ada satu nama dalam dunia sastra yang bisa bikin kita berpikir “kok hidup orang ini lebih tragis dari novel-novelnya sendiri?” maka jawabannya adalah Franz Kafka.

Bicara soal Kafka, kita nggak cuma bicara soal sastra surealis yang absurd, tapi juga kisah hidupnya yang nggak kalah tragis. Nama Kafka abadi di dunia sastra berkat The Metamorphosis (Die Verwandlung), yang bisa dibilang salah satu novelet paling terkenal di dunia. Tapi di balik mahakaryanya, Kafka adalah sosok yang penuh penderitaan—baik secara fisik, mental, maupun sosial.

Mari kita ulas lebih dalam:


Kafka dan Keluarga: Rumah atau Neraka?

Kafka lahir di Praha, tahun 1883. Bapaknya adalah seorang pedagang suvenir wanita—mungkin kalau di era modern bisa dibilang entrepreneur kecil-kecilan. Tapi meskipun ekonomi keluarga mereka cukup stabil, hubungan Kafka dengan sang ayah jauh dari harmonis.

Sang ayah dikenal keras dan otoriter, nggak pernah mendukung Kafka dalam dunia sastra. Kalau Kafka bilang, “Aku ingin menulis!” maka ayahnya langsung membalas dengan, “Tulis? Buat apa? Bantu dagang aja!”

Dan ibunya? Bukannya jadi penengah, malah lebih banyak diam. Akhirnya Kafka tumbuh dalam lingkungan yang bikin dia merasa terisolasi bahkan di dalam keluarganya sendiri.

Kalau kamu merasa nggak pernah dimengerti sama orang tua, Kafka udah lebih dulu jadi senior di situasi ini.


Menjadi Gregor Samsa dalam Kehidupan Nyata

Kafka tumbuh sebagai anak yang pintar. Dia belajar di sekolah elit, menonjol dalam sastra, tapi tetap saja passion-nya ditentang. Pada akhirnya, Kafka masuk jurusan hukum, sesuatu yang sama sekali bukan panggilannya, dan bekerja di perusahaan asuransi.

Nah, kalau kamu baca The Metamorphosis, tokoh Gregor Samsa adalah seorang pekerja asuransi yang tiba-tiba berubah jadi kecoa. Orang-orang sering melihat kisah Gregor Samsa sebagai metafora Kafka sendiri: terisolasi, merasa nggak dihargai, dan perlahan kehilangan kemanusiaannya dalam rutinitas kerja yang membosankan.

Mungkin Kafka nggak beneran berubah jadi kecoa, tapi perasaan hampa dan kesepian itu nyata.


Cinta yang Tak Pernah Mulus

Kalau hidupnya sudah tragis, apakah urusan cinta lebih baik? Sayangnya, tidak. Kafka pernah bertunangan dengan Felice Bauer, tapi hubungan mereka putus-nyambung kayak sinetron tanpa akhir.

Kafka ini tipikal pria yang punya overthinking parah, apalagi soal cinta. Dia ngerasa dirinya nggak layak buat bahagia, takut hubungan bakal hancur, dan akhirnya malah self-sabotage. Bahkan, dia pernah nulis dalam surat ke Felice:

“Saya lebih hancur daripada pulih, seperti sebuah kapal yang masih utuh tetapi kosong di antara serpihan-serpihan.”

Hidupnya penuh penderitaan seakan-akan menolak kebahagiaan, dan pada akhirnya, hubungannya dengan Felice benar-benar kandas.


Penyakit yang Menghancurkannya

Kafka nggak cuma dihantui masalah keluarga dan cinta, tapi juga masalah kesehatan. Dia mengidap TBC. Perlahan, penyakit ini bikin tubuhnya makin lemah dan bahkan sampai nggak bisa makan karena sakit tenggorokan parah.

Karena di zamannya belum ada teknologi medis canggih seperti Parenteral Nutrition (nutrisi lewat pembuluh darah), Kafka secara harfiah meninggal karena kelaparan. Tragis banget, kan?


Kafka dan Warisan Sastra yang Tak Terduga

Yang lebih ironis lagi, sebelum meninggal, Kafka minta sahabatnya, Max Brod, untuk memusnahkan semua karya dan surat-suratnya.

Tapi Max Brod nggak menuruti permintaan itu. Dia justru menerbitkan karya-karya Kafka, dan BOOM—Kafka jadi legenda sastra dunia. Bisa dibilang, kalau Max Brod nurut, kita nggak akan pernah tahu siapa itu Kafka dan nggak akan pernah baca The Metamorphosis.


Pengaruh Franz Kafka dalam Dunia Sastra

Kafka nggak cuma jadi ikon sastra Eropa, tapi juga jadi inspirasi bagi banyak penulis. Salah satunya Haruki Murakami, yang bahkan menulis novel berjudul Kafka on the Shore.

Murakami terkenal dengan gaya surealisnya—adegan yang terasa nyata tapi juga aneh di saat yang sama. Hewan bicara, dimensi lain, absurditas hidup—semua ini ada di karya Kafka, dan Murakami jelas terinspirasi dari sana.


Kesimpulan: Franz Kafka, Antara Penderitaan dan Keabadian

Kafka bukan hanya sekadar penulis. Dia adalah simbol penderitaan manusia yang dirayakan dalam dunia sastra. Dia menggambarkan absurditas kehidupan dengan cara yang unik: surealis, getir, tapi tetap menyentuh.

Meskipun hidupnya tragis, karyanya tetap hidup, jauh lebih lama daripada dirinya sendiri.

Mungkin itu juga yang bikin Kafka tetap abadi: dia menulis dari luka, dan luka itu tetap relevan hingga hari ini.

Tagar terkait :


Popular Posts

One response to “Franz Kafka: Hidup yang Kelam, Karya yang Gemilang”

  1. Mikel Megginson Avatar

    You made some nice points there. I did a search on the subject and found most people will consent with your site.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *