Mengapa Manusia Dilahirkan? Perspektif Filsafat tentang Keberadaan dan Tujuan Hidup
Setiap manusia pernah bertanya pada dirinya sendiri: Mengapa aku dilahirkan? Sebuah pertanyaan sederhana yang membawa kita ke dalam refleksi mendalam tentang makna keberadaan. Dalam filsafat, pertanyaan ini bukan hanya tentang alasan biologis atau proses alamiah. Pertanyaan ini menyentuh dimensi lebih besar—dimensi formal dan final yang menjelaskan siapa kita, mengapa kita ada, dan ke mana tujuan kita.
Penjelasan Aristoteles tentang Keberadaan
Aristoteles, filsuf Yunani yang terkenal dengan pemikirannya tentang penyebab dan keberadaan, memberikan empat jenis alasan mengapa sesuatu itu ada:
- Material (Bahan):
Segala sesuatu, termasuk manusia, ada karena terdiri dari suatu bahan. Dalam konteks ini, manusia ada karena berasal dari telur dan sperma yang membentuk tubuh fisik kita. - Efisien (Proses):
Manusia ada karena melalui proses biologis tertentu, seperti pembuahan dan kehamilan, yang memungkinkan kita untuk hadir di dunia ini. - Formal (Rencana):
Keberadaan kita tidak hanya hasil dari proses alamiah, tetapi juga hasil dari sebuah rancangan. Sebagian dari kita mungkin ada karena orang tua merencanakan kelahiran kita, baik secara sadar maupun tidak. - Final (Tujuan):
Menurut Aristoteles, segala sesuatu memiliki tujuan akhir (final cause). Kehidupan manusia tidak hanya “terjadi begitu saja,” tetapi ada tujuan besar yang harus dicapai, baik itu kebahagiaan, relasi, atau sesuatu yang lebih tinggi.
Keberadaan yang Bermakna: Formal dan Final
Dari keempat penyebab tersebut, formal dan final adalah dua hal yang paling menarik untuk menjelaskan keberadaan manusia dari perspektif filosofis.
- Formal:
Kehidupan kita bukan sekadar kebetulan. Ada makna atau rencana yang melekat dalam keberadaan kita. Entah itu melalui keputusan orang tua, tradisi budaya, atau keyakinan agama, keberadaan kita sering dipandang sebagai bagian dari suatu desain atau logos—prinsip yang mengatur segala sesuatu. - Final:
Tujuan akhir manusia menjadi fondasi mengapa keberadaan kita bermakna. Aristoteles percaya bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan utama kehidupan manusia. Kebahagiaan ini tidak hanya bersifat material atau duniawi tetapi juga mencakup dimensi intelektual, spiritual, dan sosial.
Kebahagiaan dan Kehampaan dalam Diri
Satu hal yang pasti, manusia selalu mencari kebahagiaan. Namun, ada sebuah paradoks yang menarik: kebahagiaan duniawi sering kali tidak bertahan lama.
Coba pikirkan hal ini: setiap kali kita mencapai sesuatu yang kita pikir akan membuat kita bahagia, kebahagiaan itu perlahan memudar dan berubah menjadi kebosanan. Uang, kekuasaan, makanan, seks, bahkan reputasi—semuanya, pada akhirnya, meninggalkan kekosongan. Semakin banyak kita mengejarnya, semakin kita merasa butuh dosis yang lebih besar untuk mendapatkan kepuasan yang sama.
Mengapa demikian? Karena di dalam hati manusia, terdapat “lubang” yang terlalu besar untuk diisi oleh hal-hal duniawi. Lubang ini hanya dapat diisi oleh sesuatu yang melampaui diri kita sendiri—sesuatu yang bersifat transenden.
Makna Hidup Menurut Eksistensialis Teistik
Dalam perspektif eksistensialis teistik, makna hidup ditemukan dalam hubungan kita dengan sesama dan dengan Dia yang menciptakan kita. Sebagai makhluk sosial, kita menemukan kebahagiaan sejati bukan dengan memuaskan hasrat diri sendiri, tetapi dengan memberi, mencintai, dan berbagi dengan orang lain.
Jean-Paul Sartre, seorang eksistensialis ateistik, pernah berkata, “Manusia dikutuk untuk bebas.” Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menciptakan makna hidup sendiri. Namun, dalam eksistensialisme teistik, kebebasan itu bukanlah beban melainkan anugerah untuk memilih hidup yang bermakna melalui hubungan dengan yang lain dan dengan yang ilahi.
Berikut adalah kutipan yang menggambarkan makna hidup dari perspektif ini:
“Manusia adalah makhluk yang lahir bukan untuk dirinya sendiri. Hidupnya adalah tentang melayani yang lain, dan dalam pelayanan itu, dia menemukan dirinya yang sejati.”
Refleksi: Apa Makna Hidup Anda?
Pada akhirnya, pertanyaan tentang mengapa manusia dilahirkan tidak memiliki satu jawaban tunggal. Setiap orang mungkin menemukan jawabannya dalam pengalaman hidupnya masing-masing. Namun, filsafat mengajarkan kita untuk terus bertanya, terus mencari, dan terus merenungkan makna keberadaan kita.
Aristoteles mengingatkan kita bahwa ada logos dalam kehidupan ini—ada rencana dan tujuan. Dan tujuan itu tidak ditemukan dalam pengejaran materi atau hasrat egois, tetapi dalam perjalanan kita untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, untuk mencintai sesama, dan untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Leave a Reply