Kalau nama Nietzsche sudah terdengar di telingamu, biasanya dia diasosiasikan dengan filsuf ateis besar asal Jerman. Kumis panjangnya khas, pemikirannya tajam, dan idenya dikenal sebagai salah satu yang paling kritis dalam sejarah filsafat modern. Bahkan, para pemikir ateis besar seperti Sam Harris, Richard Dawkins, hingga Christopher Hitchens pun seakan belum setara kalau bicara soal kedalaman kritik Nietzsche. Di sisi lain, banyak teis—ya, orang beragama—yang justru merasa perlu mendalami pemikiran Nietzsche untuk mengasah iman mereka!
Tapi, ada fakta menarik yang mungkin belum kamu tahu. Nietzsche, si “ateis besar,” dulunya adalah seorang anak pendeta yang saleh. Bahkan, ia sempat bercita-cita menjadi pendeta. Salah satu doanya yang ia tulis di masa kecil mungkin akan membuatmu terkejut:
“Aku telah memutuskan untuk mendedikasikan hidupku kepada-Nya (Tuhan) dan melayani-Nya. Kiranya Tuhan memberikan aku kekuatan untuk melakukan segala pekerjaan dan melindungi hidupku… Kiranya Engkau menyinari wajahmu pada kami sekarang dan selamanya, Amin!”
Cukup sulit dipercaya, ya? Anak pendeta yang begitu religius ini akhirnya tumbuh menjadi filsuf yang menyatakan bahwa “Tuhan telah mati.”
Ateisme dari Epikuros hingga Nietzsche
Untuk memahami Nietzsche, kita perlu melihat “jalan panjang ateisme” dari sejarah filsafat. Di masa Yunani kuno, ada Epikuros, seorang filsuf yang mempertanyakan keberadaan dewa-dewa Olimpus. Menurutnya, kalau dewa-dewa ini memang ada, mereka terlalu besar dan jauh untuk peduli pada manusia. Kalau ada bencana, penderitaan, atau ketidakadilan di dunia, itu bukan karena para dewa jahat—tapi karena mereka nggak peduli. Epikuros menyimpulkan bahwa hidup berjalan sendiri, tanpa campur tangan entitas yang lebih tinggi.
Lalu, ribuan tahun kemudian, muncul ateis modern seperti Voltaire, Sartre, hingga Marx, yang mengkritik agama karena dianggap menghambat kebebasan, keadilan sosial, atau sains. Tapi Nietzsche? Dia bermain di level yang berbeda. Nietzsche tidak hanya mengkritik agama atau institusi keagamaan. Ia melangkah lebih jauh—mengkritik “Tuhan” itu sendiri. Dan kritiknya… benar-benar menusuk.
Tuhan dalam Pandangan Nietzsche
Bagi Nietzsche, masalah terbesar dari agama (khususnya Kekristenan) bukanlah ajarannya tentang surga atau neraka. Bukan juga peraturan moralnya. Masalahnya adalah Tuhan itu sendiri. Nietzsche menggambarkan Tuhan sebagai entitas narsistik yang menciptakan sistem kepercayaan untuk memperbudak manusia.
Menurut Nietzsche:
- Tuhan “memprogram” manusia untuk menyembah-Nya, mencintai musuh mereka, dan meniadakan kehendak bebas.
- Tuhan mendikte manusia agar menjadi makhluk yang lemah lembut dan bergantung pada-Nya, sehingga mereka takut menghadapi penderitaan di dunia nyata.
- Kebaikan Tuhan, yang seharusnya menjadi anugerah, malah membuat manusia kehilangan keberanian untuk hidup mandiri. Manusia lebih memilih “kabur ke surga” daripada menghadapi dunia dengan kepala tegak.
Nietzsche menyebut Kekristenan sebagai bentuk kejijikan tertinggi. Menurutnya, Kekristenan menciptakan mentalitas budak yang membuat manusia tidak bisa mengoptimalkan potensi mereka. Lebih jauh lagi, Nietzsche merasa bahwa Tuhan dalam Kekristenan ini adalah covert narcissist—narsis yang tersembunyi. Tuhan ini tampak baik, bahkan rela mati untuk manusia, tetapi sebenarnya mencari suplai narsisme dari penyembahan manusia. Luar biasa tajam, bukan?
“Tuhan Telah Mati”
Dalam salah satu pernyataan paling kontroversialnya, Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati.” Bukan berarti Tuhan secara literal meninggal. Ini adalah metafora bahwa manusia modern, terutama di Eropa Barat, tidak lagi membutuhkan Tuhan sebagai pusat moralitas atau kehidupan mereka. Humanisme sekuler telah menggantikan peran agama dalam menciptakan nilai-nilai kehidupan.
Tapi di sini muncul pertanyaan besar: Jika Tuhan sudah “mati,” apa yang menggantikannya? Apa yang memberi manusia makna hidup?
Nietzsche tidak memberi jawaban pasti. Ia hanya mengingatkan bahwa tanpa Tuhan, manusia harus menciptakan nilai-nilai baru mereka sendiri. Dan itu adalah tugas yang sangat berat!
Refleksi dari Dunia Ateistik
Pandangan Nietzsche mungkin terdengar sangat nihilistik. Tapi menariknya, dia bukan satu-satunya filsuf yang berpikir demikian. Albert Camus, filsuf Prancis, menggambarkan kondisi manusia sebagai absurd. Dalam karyanya, The Myth of Sisyphus, ia menganalogikan manusia seperti Sisyphus, tokoh mitologi Yunani yang dikutuk untuk mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang kali, tanpa akhir. Hidup manusia, bagi Camus, juga seperti itu: penuh perjuangan, tapi tanpa makna sejati.
Camus menawarkan dua pilihan:
- Terima absurditas hidup dan buat makna sendiri.
- Akhiri hidup untuk mengakhiri absurditas.
Nietzsche, di sisi lain, tidak menyarankan bunuh diri sebagai solusi! Bagi Nietzsche, manusia harus menciptakan “kehendak untuk berkuasa”—yaitu kekuatan untuk menciptakan nilai dan tujuan hidup, bahkan di tengah kekacauan dunia.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Nietzsche?
Nietzsche bukan filsuf yang mudah dimengerti, apalagi disetujui. Kritiknya terhadap Tuhan dan agama memang terasa ekstrem, bahkan kejam. Tapi ada satu hal yang bisa kita ambil dari pemikirannya: keberanian untuk berpikir ulang tentang hal-hal yang dianggap pasti.
Nietzsche mengajak kita untuk tidak menerima sesuatu begitu saja, entah itu doktrin agama, nilai-nilai moral, atau pandangan tentang kehidupan. Ia mengajarkan bahwa kita perlu terus mencari, mempertanyakan, dan menciptakan makna hidup kita sendiri. Mirip Ngulik Enak, bukan?
Apakah itu berarti kita harus setuju dengan Nietzsche? Tidak. Tapi kita bisa belajar untuk menjadi lebih kritis, lebih berani, dan lebih jujur dalam menghadapi dunia ini.
Karena pada akhirnya, baik kita percaya pada Tuhan, atau memilih untuk tidak percaya, pertanyaan terbesar tetap sama: Apa yang membuat hidup ini bermakna?
Leave a Reply