“Hidup manusia tidak memiliki makna objektif.” Pernyataan ini bukanlah ucapan seorang penganut nihilisme biasa, melainkan Yuval Noah Harari, sejarawan sekaligus penulis buku laris Sapiens: A Brief History of Humankind. Dalam salah satu kutipannya yang terkenal, Harari mengungkapkan bahwa, dari sudut pandang ilmiah, kehidupan manusia tidak lebih dari hasil evolusi buta tanpa tujuan atau rencana. Dalam perspektif kosmik, keberadaan kita hanyalah debu di antara milyaran bintang, dan jika planet ini hancur besok pagi, semesta akan terus berjalan seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Bagi sebagian orang, pernyataan Harari ini seperti tamparan keras di wajah. Bagaimana mungkin, di tengah segala pencapaian manusia—sains, seni, budaya—hidup ini tidak memiliki arti? Apakah kita hanya hidup untuk makan, tidur, dan akhirnya mati tanpa ada makna sejati?
Namun, sebelum kita terjebak dalam keputusasaan, mari kita lihat lebih dalam. Apakah benar hidup ini tidak bermakna? Atau, seperti Harari juga katakan, kita menciptakan makna kita sendiri, meski itu hanyalah ilusi belaka?
Makna Hidup dalam Dunia Materialistik
Harari menyebut makna hidup sebagai delusi, konstruksi sosial yang diciptakan untuk membuat kita merasa lebih baik tentang keberadaan kita. Dalam dunia materialistik yang hanya mengandalkan fakta-fakta ilmiah, makna hidup sejati tidak ada. Kita hanyalah gumpalan DNA yang bergerak mengikuti hukum-hukum fisika dan kimia.
Pandangan ini bukanlah hal baru. Sebelum Harari, filsuf Prancis Albert Camus dalam bukunya The Myth of Sisyphus menggambarkan hidup manusia sebagai tugas yang absurd: seperti Sisyphus yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali ke dasar, berulang kali, tanpa akhir.
Camus menyatakan bahwa hidup ini sia-sia, tidak bermakna, dan penuh absurditas. Jadi, apa pilihan kita? Camus menawarkan dua jalan keluar:
- Menciptakan makna kita sendiri, meskipun kita tahu itu tidak objektif.
- Mengakhiri hidup, untuk menghindari penderitaan yang terus-menerus.
Tapi Camus menambahkan pilihan ketiga, yaitu pemberontakan. Tidak dalam arti destruktif, melainkan menerima absurditas hidup dengan cara yang kreatif dan berani. Baginya, menerima bahwa hidup ini tidak memiliki makna justru bisa menjadi awal untuk menciptakan makna kita sendiri.
Apakah Hidup Hanya Tentang Bertahan?
Jika kita mengikuti logika Camus atau Harari, kita mungkin merasa bahwa hidup hanya tentang bertahan. Makan, tidur, bekerja, dan menghindari penderitaan sebisa mungkin. Namun, apakah itu cukup?
Filsuf seperti Viktor Frankl, Martin Heidegger, dan Emmanuel Levinas menawarkan sudut pandang yang berbeda. Mereka tidak memulai dari konsep Tuhan atau agama, melainkan dari pengalaman manusia itu sendiri. Mereka percaya bahwa makna hidup ditemukan bukan melalui pencarian internal semata, tetapi melalui hubungan dengan orang lain—the Other.
- Viktor Frankl: Makna dari Penderitaan
Frankl, seorang psikiater dan penyintas Holocaust, dalam bukunya Man’s Search for Meaning, menulis bahwa bahkan dalam kondisi paling menyedihkan sekalipun, manusia masih bisa menemukan makna. Bagi Frankl, makna hidup terletak pada kemampuan kita untuk memberikan arti pada penderitaan, bukan menghindarinya. Dia menegaskan bahwa orang yang memiliki “mengapa” untuk hidup akan mampu menghadapi “bagaimana” dari hidupnya.
- Martin Heidegger: Keberadaan yang Otentik
Heidegger, filsuf Jerman, berbicara tentang pentingnya menjalani hidup secara otentik. Baginya, kita tidak boleh terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang membuat kita lupa akan kematian yang pasti datang. Kesadaran akan kefanaan kita seharusnya menjadi dorongan untuk hidup dengan penuh arti, bukan alasan untuk menyerah.
- Emmanuel Levinas: Makna dalam Hubungan dengan Orang Lain
Levinas menawarkan pandangan yang lebih humanis. Baginya, makna hidup ditemukan dalam hubungan kita dengan orang lain. Melalui tindakan memberi, peduli, dan mencintai, kita menemukan makna yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Levinas percaya bahwa menghadapi the Other—orang lain—adalah panggilan etis yang paling mendasar bagi manusia.
Antara Ilusi dan Kenyataan
Jika Harari mengatakan bahwa makna hidup adalah delusi, dan Camus menyebut hidup ini absurd, apakah itu berarti kita hanya hidup dalam kebohongan yang kita ciptakan sendiri? Tidak juga. Justru di sinilah letak keindahan manusia. Kita tahu hidup ini mungkin tidak memiliki makna objektif, tapi kita tetap memilih untuk menciptakan makna—melalui hubungan, karya, dan harapan.
Contoh sederhananya, bayangkan seseorang yang bekerja sebagai mentor. Secara kosmik, pekerjaan ini mungkin tidak berarti apa-apa. Namun, bagi murid-murid yang ia ajar, mentor ini bisa menjadi pembimbing, inspirasi, bahkan alasan mereka untuk bermimpi. Dalam skala kecil, hidup mentor ini memiliki makna—meski alam semesta mungkin tidak peduli.
Kembali ke Pertanyaan Awal
Jadi, apakah hidup ini bermakna? Jika kita mencari makna yang absolut, mungkin jawabannya adalah tidak. Tapi jika kita bersedia menerima bahwa makna adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri, maka hidup bisa menjadi penuh arti.
Makna tidak harus besar atau transenden. Kadang, makna itu sesederhana memberi senyum pada orang lain, menulis sebuah artikel yang menginspirasi, atau mendengarkan cerita teman yang sedang butuh bahu untuk bersandar.
Pada akhirnya, makna hidup adalah tentang bagaimana kita memilih untuk mengisi kekosongan. Seperti kata Camus, “Anda harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Karena pada titik tertentu, kebahagiaan bukanlah tentang menemukan makna yang besar, tetapi tentang menciptakan makna kecil-kecil yang membuat kita merasa hidup.
Menciptakan Makna di Tengah Kekosongan
Apakah hidup ini bermakna? Jawabannya tergantung pada bagaimana Anda melihatnya. Jika Anda memandang dunia secara materialistik, mungkin tidak. Tapi jika Anda memutuskan untuk menciptakan makna Anda sendiri—melalui hubungan, karya, atau tindakan kecil sehari-hari—maka hidup Anda bisa menjadi penuh arti.
Seperti yang dikatakan Harari, makna hidup mungkin hanyalah delusi. Tapi, bukankah delusi itu yang membuat kita bangun pagi, bekerja keras, mencintai, dan bermimpi? Pada akhirnya, yang penting bukan apakah makna itu objektif atau tidak, tetapi apakah makna itu membuat hidup kita berharga.
Leave a Reply