Skeptisisme Descartes

dubito

Kalau kamu pernah denger kalimat “Aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum), selamat! Kamu udah ketemu sama salah satu pemikiran paling fundamental dalam sejarah filsafat modern. Tapi… kamu beneran ngerti maknanya? Atau jangan-jangan cuma tahu karena sering muncul di meme filsafat? Yuk, kita bahas lebih dalem!

Dari Meragukan Segalanya ke Fondasi Pengetahuan

Rene Descartes, filsuf Prancis abad ke-17, adalah bapak skeptisisme modern. Waktu itu, dia kayak orang yang tiba-tiba nanya, “Eh, tapi kita bisa beneran percaya nggak sih sama semua yang kita tahu?” Terus dia ambil langkah ekstrem: meragukan semuanya.

Serius. Semuanya. Realitas, indra, bahkan keberadaan dunia luar. Dia mikir, “Kalau mimpi aja bisa terasa nyata, siapa yang jamin hidup ini bukan mimpi panjang?” Tapi, ada satu hal yang nggak bisa dia ragukan: fakta bahwa dia sedang berpikir.

Inilah asal-usul si cogito ergo sum. Ketika aku meragukan, berarti aku berpikir. Kalau aku berpikir, berarti aku eksis. Nah, cogito ini jadi semacam “kecepatan cahaya” dalam epistemologi—sesuatu yang pasti, jadi dasar buat bangun pengetahuan lainnya.

Kritik & Perkembangan: Dari Kant Sampai Popper

Tentu aja, pemikiran Descartes nggak lepas dari kritik. Immanuel Kant misalnya, ngerasa cogito terlalu naif. Menurut Kant, kita cuma bisa tahu fenomena (hal-hal yang bisa kita alami), tapi nggak bisa nyentuh noumenon (hakikat terdalam dari realitas). Jadi, ada batasan inheren dalam akal manusia.

Lalu, muncul pemikir lain yang bilang, “Oke, kita emang nggak bisa tahu segalanya, tapi kita kan butuh hidup juga.” Inilah cikal bakal konvensionalisme ala Henri Poincare: daripada ngejar kebenaran mutlak yang mungkin mustahil dicapai, kenapa nggak kita sepakati aja apa yang sementara bisa dipakai?

Karl Popper bawa ini lebih jauh dengan falsifikasi: ilmu pengetahuan itu harus bisa diuji dan dipatahkan. Teori ilmiah nggak pernah final, karena tiap saat bisa datang data baru yang ngebuktiin teori lama salah. Ini kayak sains bilang, “Kami mungkin salah, tapi setidaknya kami bisa berkembang.”

Dari Keraguan ke Metodologi: Warisan yang Tak Terhindarkan

Yang keren dari Descartes bukan cuma idenya, tapi metodenya. Dia ngajarin kita buat mulai dari pertanyaan, dari rasa ragu. Ini yang bikin filsafat modern berkembang jadi lebih terstruktur, dan akhirnya nular ke bidang lain.

Kamu nulis skripsi? Mulai dari rumusan masalah.
Penelitian ilmiah? Ada hipotesis yang diuji.
Bisnis startup? Ada validasi ide lewat riset pasar.

Semuanya berakar dari metode skeptis: mulai dari keraguan, lalu cari jawaban secara sistematis.

Jadi, Apa Kita Semua Kartesian?

Simone de Laplace pernah bilang, “Semua orang yang lahir setelah Descartes adalah Kartesian.” Ini ada benarnya. Setiap kali kita nanya “Bener nggak sih ini?” atau “Ada bukti kuat nggak?”, kita sebenernya lagi jadi anak-anak ideologisnya Descartes.

Skeptisisme, dalam bentuknya yang sehat, ngajarin kita buat nggak gampang puas sama jawaban instan. Ini adalah dorongan buat terus ngejar pengetahuan, bahkan kalau itu berarti kita harus berhadapan sama kenyataan pahit atau ketidakpastian yang bikin kepala pusing.

Jadi, kalau kamu pernah overthinking jam 3 pagi sambil mikir, “Apa aku ini nyata?” atau “Gimana kalau hidup ini cuma simulasi?” — santai aja. Itu tandanya kamu cuma lagi jadi manusia Kartesian versi modern. Selamat datang di klub! 🚀

Tagar terkait :


Popular Posts

2 responses to “Skeptisisme Descartes”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *